Dari Kromosom ke Karakter: Saat Ayah Menentukan Masa Depan Anak

Shared tulisan

Kita sering mendengar ungkapan bahwa kecerdasan diturunkan dari ibu. Ungkapan ini bukan mitos belaka. Secara genetis, gen-gen yang berkaitan dengan fungsi kognitif dan struktur otak memang banyak berada di kromosom X.

Karena wanita memiliki dua X, dan laki-laki hanya satu, maka anak laki-laki menerima gen kecerdasan hanya dari ibunya (Derom et al., Nature Genetics, 2017).

Tapi pertanyaannya: benarkah kecerdasan cukup untuk menjamin masa depan anak?

Riset terbaru justru menunjukkan sebaliknya. Di tengah dunia yang semakin kompleks, karakter dan ketahanan emosi jauh lebih menentukan kesuksesan jangka panjang.

Dan di sinilah peran ayah menjadi sangat krusial.

Sebuah studi gabungan dari 80 meta-analisis yang dirilis tahun 2025 menunjukkan bahwa gangguan mental pada ayah, baik selama kehamilan pasangan maupun setelah kelahiran anak, berkaitan erat dengan masalah perkembangan sosial, bahasa, hingga kesehatan fisik anak (Herald Sun, 2025; Deakin University Report).

Di saat perhatian dunia hanya tertuju pada kesehatan mental ibu, riset ini mengingatkan: anak-anak juga butuh ayah yang stabil secara emosional.

Keterlibatan ayah secara emosional, bukan sekadar ekonomi, terbukti berdampak besar pada pembentukan karakter anak.

Anak yang dekat dengan ayah, secara konsisten menunjukkan kontrol diri lebih baik, resiliensi terhadap tekanan, serta kepercayaan diri lebih tinggi (Growing Up in Ireland, 2023). Ini bukan teori. Ini kenyataan, terlihat di banyak rumah tangga yang kehilangan figur ayah.

Dalam Serat Centhini, karya sastra Jawa abad ke-19 yang merekam kebijaksanaan hidup dan nilai-nilai keluarga Jawa.” disebutkan bahwa: ‘Anak iku anake wong tuwa loro. Bapak punika guru kang ngajari urip.’

Anak adalah milik dua orang tua. Ayah adalah guru kehidupan. Bukan sekadar hadir secara jasad, tapi membentuk jiwa anak dengan nasihat dan keteladanan.

Kita bisa menengok kebijaksanaan sosial dalam sejarah Islam. Ketika banyak laki-laki gugur di medan perang pada masa Rasulullah SAW, lahirlah generasi anak-anak tanpa ayah.

Poligami yang dibolehkan Islam bukan solusi syahwat, tapi strategi sosial. Para sahabat menikahi janda-janda perang bukan untuk menambah istri, tapi untuk menghadirkan figur pelindung dan pendidik bagi anak-anak yatim.

Nabi Yusuf kecil datang kepada ayahnya dan berkata: ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan, kulihat semuanya bersujud kepadaku.’ (QS Yusuf: 4).

Dan sang ayah, Nabi Ya’qub, tidak menertawakan atau mengabaikan. Ia membimbing dengan penuh cinta dan kebijaksanaan. Inilah pesan pentingnya: kehadiran ayah bukan soal status biologis, tetapi soal komitmen menjadi pilar pembentuk karakter.

Di zaman modern, banyak anak memiliki ibu yang luar biasa, tapi kehilangan ayah bukan karena wafat, tapi karena absen secara emosional. Sibuk. Terasing. Atau tak tahu harus berbuat apa.

IQ dari ibu mungkin memberi anak sebuah pintu. Tapi karakter dari ayahlah yang menentukan apakah anak akan berani melangkah melewatinya.

Ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah penjaga mimpi. Arsitek karakter. Dan dari tangan ayah yang hadir, lahir anak-anak yang utuh dan bangsa yang kuat.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top