Bayani, Burhani dan Irfani : Tiga jalan menuju terang.

Shared tulisan

Kadang, ide menulis justru datang dari pembaca.
Belum lama ini, seorang pembaca merespons tulisan saya dengan tiga kata: bayani, burhani, dan irfani.

Jujur, ketiganya terdengar asing di telinga saya. Mungkin bukan karena tak pernah tahu, tapi karena sudah terlalu lama tak mendengarnya lagi.

Seperti biasa, jika ada hal yang belum saya pahami, saya langsung googling. Inilah cara saya belajar dan membuka perspektif baru.

Dalam hidup, kita sering berdiri di persimpangan: mana yang benar, mana yang baik, dan mana yang paling bijak.

Para pemikir terdahulu telah menandai tiga jalan pencarian makna: bayani, burhani, dan irfani. Tiga cara manusia meniti jalan menuju terang, sebagaimana diurai oleh Mohammad Arkoun dalam Al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihād.

Jalan bayani berakar pada teks dan otoritas; ia membaca kebenaran dari kata-kata yang diwariskan dan ditaati. Jalan burhani bertumpu pada akal dan bukti; ia mencari kebenaran lewat logika dan pembuktian rasional.

Sementara irfani merangkul pengalaman batin, intuisi, dan penyucian diri; kebenaran hadir bukan sebagai konsep, melainkan sebagai cahaya yang dirasa dan dihayati.

Bayani adalah jalan pertama yang paling akrab bagi banyak orang: merujuk pada teks, mendengarkan fatwa guru, dan mengikuti ajaran sebagaimana disampaikan.

Soal kebersihan, misalnya. Jalan ini menuntun kita kepada sabda Nabi, ā€œKebersihan adalah sebagian dari imanā€ (HR. Muslim). Maka menjaga lingkungan bukan sekadar soal etika, tapi wujud ketaatan

Lalu burhani, jalan bagi mereka yang suka bertanya dan menimbang. Jalan ini mengandalkan akal sehat dan pembuktian rasional.
Ibn Rushd, dalam Tahāfut al-Tahāfut, menunjukkan bagaimana akal dapat menjelaskan banyak hal yang juga diajarkan oleh wahyu.

Dalam soal kebersihan, misalnya, burhani menyodorkan data: sampah yang menutup selokan menyebabkan banjir, mencemari air, dan menyebarkan penyakit. Maka seseorang berhenti membuang sampah sembarangan, bukan semata karena diperintah, tapi karena ia paham betul akibatnya.

Dan ada irfani, cara orang-orang yang hatinya peka. Jalan ini banyak disinggung dalam Iįø„yā’ ā€˜UlÅ«m al-DÄ«n karya Al-Ghazali: orang yang menyaksikan bumi yang kotor lalu merasakan bahwa bumi ini wajah Tuhan.. Ia berhenti membuang sampah karena tidak berani mencederai wajah-Nya.

Contoh kedua, dalam mendidik anak. Bayani mengajarkan: ā€œJagalah dirimu dan keluargamu dari api nerakaā€ (QS. At-Tahrim: 6). Maka kita ajarkan mereka salat, akhlak, dan adab. Burhani melihat: anak butuh kasih sayang, butuh contoh, bukan hanya hukuman. Sebagaimana disarankan ilmu psikologi modern.

Irfani melihat lebih dalam lagi: anak adalah amanah Tuhan. Jiwa yang unik, yang tak hanya dididik tetapi juga dicintai dan didoakan, sebagaimana diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi dalam syair-syairnya.

Contoh ketiga, ketika bekerja. bayani berkata: ā€œTidak ada rezeki yang lebih baik dari hasil kerja tangan sendiriā€ (HR. Bukhari). Maka kita bekerja keras, mencari nafkah halal. Burhani menimbang: bekerja harus cerdas, efisien, memberi manfaat nyata.. Irfani membisikkan: bekerja juga cara untuk melayani makhluk Tuhan, mempersembahkan yang terbaik sebagai bentuk cinta.

Ketika mangalami musibah. Bayani berkata: sabar adalah perintah, tawakkal adalah obat. Burhani berkata: musibah ini ada sebabnya, pelajari, perbaiki, siapkan langkah berikutnya. Irfani mengajak: rasakan bahwa di balik kehilangan ini ada pelukan Tuhan, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Hallaj dan para sufi dalam syair-syair mereka.

Hari ini saya belajar bahwa jalan menuju terang tak hanya satu. Ada teks yang membimbing, akal yang menguji, dan hati yang merasakan.

Jika kita berani berjalan di ketiganya sekaligus: teks, akal, dan rasa. Sepertinya kita akan lebih mudah tiba pada yang kita cari: wajah Tuhan di setiap langkah.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top