Tanah yang Tak Lagi Menyimpan: Isyarat dari Dalam Bumi

Shared tulisan

Air bukan hanya soal cuaca. Ia juga soal tanah. Hari-hari ini, bumi seolah tetap basah oleh hujan, tapi kering di akar. Sebab air yang turun tak lagi mampu ditahan oleh tanah. Ia mengalir begitu saja ke selokan, ke sungai, lalu ke laut. Tanpa sempat tinggal barang sebentar di kedalaman bumi.

Tanah kita kehilangan daya simpan. Dan ini bukan sekadar masalah teknik, tapi tanda-tanda dari bumi yang sedang kelelahan.

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kemampuan tanah menyerap air menurun drastis akibat hilangnya vegetasi, erosi, dan padatnya permukaan tanah karena pertanian intensif dan pembangunan masif.

Porositas tanah rusak. Air tak lagi punya pintu masuk. Ia menggenang atau menghilang. Di saat bersamaan, laju penguapan meningkat. Permukaan bumi yang gundul dan panas mempercepat evapotranspirasi. Hujan yang turun belum sempat menjadi cadangan, sudah lebih dulu kembali menguap.

Studi global mencatat bahwa antara tahun 2001–2018, laju evapotranspirasi aktual meningkat lebih dari 14% di banyak kawasan pertanian (Zeng et al., 2020). Itu artinya: lebih banyak air hilang ke udara dibanding yang tersimpan dalam tanah.

Di Indonesia, fenomena ini terasa di mana-mana. Sawah-sawah yang dulu cukup satu kali pengairan dalam seminggu, kini memerlukan dua kali atau lebih. Petani mulai mengeluh: air makin sering datang, tapi makin cepat habis.

Kita menghadapi krisis diam-diam: cadangan air tanah perlahan menipis, sementara pola hujan makin tak menentu.

Ini bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga filosofi: bagaimana kita memperlakukan tanah sebagai tubuh yang hidup, bukan sekadar tempat berpijak.

Dalam konsep pertanian regeneratif, tanah yang sehat bukan sekadar subur, tapi mampu menyimpan air, menahan nutrisi, dan menjaring kehidupan.

Tanah hidup punya tekstur, ruang, dan kelembaban. Ia tak ditindih, tak dikupas habis, tak dipaksa panen terus-menerus tanpa jeda. Tapi selama ini, kita memperlakukan tanah seperti mesin: terus dipaksa bekerja, tanpa jeda, tanpa rasa.

Ada banyak cara memulihkan: dengan mulsa, dengan sistem tanpa olah tanah (no-till), dengan menanam pohon sela, dengan mengembalikan vegetasi penutup.

Penelitian dari Michigan State University menyebutkan bahwa mulsa dan sistem no-till terbukti efektif mengurangi penguapan dan meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah (MSU Extension, 2020).

Tapi lebih dari itu, kita butuh mengubah cara pandang. Bahwa air tak hanya turun dari langit. Ia bisa tinggal, jika kita siapkan ruangan di dalam tanah.

Bumi sedang memberi isyarat: bahwa ia tak bisa lagi menampung limpahan, bila tak kita pulihkan daya simpannya.

Jika kita tetap memaksa, yang akan datang bukan hanya kekeringan, tapi juga banjir, longsor, dan kehilangan. Bumi masih mau memberi isyarat. Tapi kapan kita mau mengerti?

Al-Qur’an telah lama mengingatkan: “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (QS. Al-Anbiya’: 30).

Maka, ketika tanah kehilangan kemampuannya menyimpan air, yang hilang bukan hanya cadangan, tapi ruh kehidupan itu sendiri.

Di Thailand, masyarakat merayakan Songkran Day, sebuah perayaan air yang melambangkan kehidupan, penyucian diri, dan penghormatan terhadap Air. Air dipercikkan bukan hanya sebagai permainan, tapi sebagai ritual cinta dan penghormatan kepada kehidupan.

Ironisnya, kita di negeri memperlakukan air hanya sebagai komoditas. Padahal, air adalah berkah, bukan barang dagangan.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top