Tempe: Jejak Ilmu, Cermin Bangsa

Shared tulisan

Di zaman serba instan, tempe sering dipandang sebelah mata. Dianggap makanan murah. Makanan orang kecil. Padahal, di balik tempe tersembunyi rekayasa hayati yang sangat canggih.

Fermentasi tempe adalah ilmu tua yang tumbuh dari bumi Nusantara, jauh sebelum Pasteur mengenalkan mikrobiologi. Kombinasi kapang Rhizopus oligosporus, suhu, kelembaban, dan waktu membentuk sistem biologis yang mampu menghasilkan protein nabati bermutu tinggi (Astuti et al., 2000).

Sayangnya, kini kita lebih percaya pada kemasan daripada kandungan. Lebih percaya pada slogan asing ketimbang kearifan sendiri. Di ruang-ruang pendidikan, tempe tak dianggap sebagai teknologi. Di laboratorium, tempe jarang jadi objek riset strategis.

Di ruang makan pun, tempe kalah gengsi dari nugget dan sosis. Padahal, tempe mampu meningkatkan ketersediaan asam amino, menurunkan senyawa anti-gizi, dan memperkuat sistem imun (Nout & Kiers, 2005). Tak sedikit jurnal menyebutnya sebagai functional food (Shurtleff & Aoyagi, 2011).

Ketika tempe dikombinasikan dengan bahan lokal non-GMO seperti koro pedang, potensinya melonjak. Tempe tak hanya jadi lebih sehat dan berkelanjutan tapi juga lebih merdeka dari ketergantungan impor. Tempe tak lagi soal gizi semata, tapi soal martabat, kedaulatan pangan, dan pemulihan ekologi (Somamihardja, 2024).

Namun ironis, tempe yang begitu kaya justru sering diolah dengan cara yang merusaknya. Digoreng dalam minyak jelantah, direndam MSG. Penelitian menunjukkan, penggorengan suhu tinggi merusak enzim dan menurunkan nilai gizi (Kusnadi et al., 2019).

Padahal cara sehat mengolah tempe begitu sederhana: cukup dikukus, ditumis ringan, dipanggang, bahkan bisa dibuat smoothie fermentasi. Di negara maju, tempe kini tampil elegan dalam protein bowl dan salad organik. Sementara di negeri asalnya, ia masih dianggap lauk kelas dua.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Barangkali kita telah kehilangan percaya diri. Ilmu yang tumbuh dari dapur nenek moyang kita anggap kuno. Seperti pepatah Jawa: ngunduh wohing pakarti, kita memetik buah dari perilaku sendiri. Bila kita menyepelekan warisan sendiri, yang tumbuh justru kebanggaan semu dari luar.

Namun di banyak pelosok negeri, masih ada yang setia menjaga ilmu ini. Pak Kusno, di Wonosari, misalnya. Ia memilih koro pedang lokal meski hasilnya kecil. β€œYang penting tahu asal usulnya,” katanya. Ia tahu: ilmu bukan hanya milik laboratorium. Ia juga milik rakyat yang merawatnya.

Ilmu tempe adalah ilmu yang tertidur. Bukan karena usang, tapi karena kita tak lagi menghiraukannya. Tempe hidup dalam tradisi, tapi tidak dihidupkan dalam kesadaran. Kita tak perlu menciptakan temuan baru. Kita hanya perlu membangunkan pengetahuan lama yang dipinggirkan.

Tempe bukan sekadar makanan. Tempe adalah jalan pulang. Ia mengajarkan bahwa sains bisa lahir dari dapur, dari tanah, dari relasi manusia dan mikroba. Dan bila kita mulai menghormatinya, mungkin kita sedang membangunkan bukan hanya ilmu, tapi juga martabat bangsa.

Karena bangsa yang tidak menghormati kreasi dan inovasi leluhurnya, tak akan pernah benar-benar merdeka.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top