Limbik dan Media Sosial: Scroll dengan Rasa, Bukan Akal

Shared tulisan

Kita buka Instagram hanya untuk lima menit. Tapi tahu-tahu sudah sejam dan hati jadi campur aduk.
Itu kerja si limbik.

Media sosial bukan arena informasi. Ia ladang emosi. Dan sistem limbik, bagian otak kita yang mengatur rasa takut, cemas, senang, dan iri, jadi pemain utama di sana.

Begitu jempol mulai scroll, limbik langsung bekerja. Foto bahagia orang lain memicu rasa kalah. Thread marah-marah memicu adrenalin. Video lucu bikin dopamin meletup. Semua respons cepat, emosional, dan nyaris tanpa sadar.

Joseph LeDoux menyebut sistem limbik sebagai “detektor cepat ancaman dan peluang.” Ia cepat karena tujuannya bertahan hidup. Tapi di media sosial, ia kebablasan, mengira jumlah likes adalah ukuran harga diri, atau komentar sinis adalah ancaman eksistensial.

Tak heran kalau setelah scrolling, kita merasa kosong. Karena limbik bukan dirancang untuk kebanjiran rangsangan seperti itu. Ia terbiasa memproses satu peristiwa penting dalam sehari, bukan seratus cerita dalam satu jam.

Lalu apa akibatnya?

Kita jadi mudah terprovokasi, mudah minder, mudah kagum buta.

Akal sehat? Sering datang terlambat.

Sama seperti politik, media sosial bekerja bukan pada logika, tapi pada narasi dan simbol. Dan limbik sangat suka itu. Ia tak tanya: “Benarkah ini?” tapi lebih sering tanya: “Bagaimana perasaanku soal ini?”

Maka, agar tetap waras, kita perlu satu kebiasaan: jeda. Ya, Jeda.

Sebelum percaya, jeda. Sebelum komentar, jeda.

Sebagaimana diingatkan: ‘Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka telitilah (tabayyanu), agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu.’ (QS. Al-Hujurat: 6).

Bukankah kita sudah diberitahu bahwa *“manusia diciptakan dengan sifat tergesa-gesa” ? (QS. Al-Anbiya: 37). Maka wajar bila scroll dan komentar terasa alami. Tapi justru karena itulah kita perlu jeda, agar fitrah tergesa itu tidak menyesatkan arah.

Beri waktu pada akal untuk bicara, sebelum limbik mengambil alih seluruh hidup.

Karena hidup yang digerakkan sepenuhnya oleh emosi akan melelahkan. Dan media sosial, kalau tak disikapi sadar, hanya jadi cermin limbik, bikin bising, tapi tak memberi arah.

Jadi, lain kali kita scroll dan merasa dunia terasa sempit, ingat: itu bukan dunia. Itu limbik yang sedang mengarang cerita.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top