Iqra Semesta : membaca Tuhan Lewat Kosmos

Shared tulisan

Bayangkan. Lebih dari 1.400 tahun lalu, di tengah padang pasir yang jauh dari pusat peradaban ilmiah, muncul ayat yang menggetarkan:

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya…”
(QS Al-Anbiya: 30)

Di masa itu belum dikenal teleskop. Tapi Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa semesta berasal dari satu kesatuan yang kemudian terpisah. Hari ini, dunia mengenalnya sebagai teori Big Bang.

Al-Qur’an juga menyatakan:

“Dan langit, Kami membangunnya dengan kekuatan; dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS Adz-Dzariyat: 47)

Kata lamūsi‘ūn berarti “meluaskan secara terus-menerus”. Ini sejalan dengan temuan Edwin Hubble tahun 1929: alam semesta terus mengembang. Fakta yang baru dibuktikan sains modern, namun telah disinggung dalam wahyu.

Di masa keemasan Islam, para ulama seperti Ibnu Sina, filsuf dan dokter Persia yang dijuluki Bapak Kedokteran Modern; Al-Biruni, ilmuwan multitalenta di bidang astronomi, geografi, dan matematika; dan Ibnu Haytham, pelopor optika dan metode ilmiah eksperimental membaca Al-Qur’an sebagai peta semesta. Tapi pasca kejatuhan Baghdad, tafsir Al-Qur’an dibatasi. Ketakutan akan penafsiran “menyimpang” membuat ruang ijtihad ditutup rapat.

Kalimat seperti “Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan akalnya, maka bersiaplah tempat duduknya di neraka” makin sering dikutip, bukan sebagai peringatan ilmiah, tapi pembekuan akal.

Padahal seperti ditegaskan Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim asal Pakistan dan pembaru tafsir kontekstual, tafsir tak boleh dibekukan. Al-Qur’an bersifat dinamis, harus terus menyala dalam konteks zaman.

Nurcholish Madjid, pemikir Islam Indonesia menyerukan keterbukaan tafsir dan pembaruan ijtihad. Dia menambahkan bahwa iman yang hidup menuntut keberanian membaca dan menafsir, bukan hanya menerima.

Tapi ketika tafsir dibatasi dan hanya diserahkan pada segelintir elite, maka ayat-ayat semesta pun terkunci.

“Ilmu pengetahuan modern, dengan kemampuannya mengamati fenomena kosmik, telah mengungkapkan fakta-fakta yang baru diketahui belakangan ini, namun telah tercantum dalam Al-Qur’an sejak lebih dari 1.400 tahun yang lalu.” (Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, 1976)

Maurice Bucaille, dokter dan penulis asal Prancis yang dikenal karena kajiannya tentang keselarasan Al-Qur’an dan sains modern menyebut Al-Qur’an bukan hanya kitab hukum, tapi risalah terbuka yang menyentuh sains, sejarah, dan kesadaran manusia. Mengabaikan ayat-ayat kauniyah berarti menutup separuh wajah wahyu itu sendiri.

Hari ini, saat teleskop James Webb mengungkap citra awal penciptaan semesta, umat Islam kembali dihadapkan pada peluang: membaca ulang Kitab dalam cahaya kosmos. Karena mungkin, ayat-ayat Tuhan bukan hanya tertulis dalam mushaf, tapi juga terbentang di langit malam.

“ Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan dalam diri mereka…” (QS Fussilat: 53)

Pandanglah langit. Mungkin di balik gelap itu, semesta sedang menyampaikan pesan: bahwa membaca alam adalah juga membaca wahyu, dan berpikir adalah bentuk zikir tertinggi.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

2 thoughts on “Iqra Semesta : membaca Tuhan Lewat Kosmos”

  1. Pingback: Luka Sejarah, Neurosains, dan Nasihat Al-Qur’an – Agus Somamihardja

  2. Pingback: Bertani Tradisional, Berdaya Global – Agus Somamihardja

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top