Luka Sejarah, Neurosains, dan Nasihat Al-Qur'an
Kita kerap lantang membenci Israel. Tapi, lidah kita kelu untuk sekadar berterima kasih kepada Iran. Padahal, dalam konflik Palestina, mereka lah yang paling konsisten mendukung rakyat Gaza.
Bukan Arab Saudi, bukan Mesir, dan bukan negara-negara Arab Sunni lain yang katanya satu mazhab dengan kita.
Tidak hanya sekedar bersuara lantang di jalan jalan, bangsa Iran berjihad, mengambil resiko nyawa, berperang melawan bukan hanya Israel, mereka bertempur melawan Amerika.
Mengapa kebencian kepada Iran menghilangkan empati kita? Jawabannya tak sederhana. Ini soal luka sejarah yang diwariskan sebagai kebencian.
Perpecahan antara Sunni dan Syiah tidak lahir dari perbedaan tauhid. Baik Sunni maupun Syiah sama-sama mengesakan Allah, meyakini kenabian Muhammad SAW dan mengimani Al-Qur’an.
Perselisihan tidak bermula dari iman, tapi dari interpretasi sejarah tentang siapa yang paling berhak melanjutkan kepemimpinan umat setelah wafatnya Nabi SAW.
Syiah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupu Nabi, telah ditunjuk secara spiritual sebagai penerus. Mereka menganggap imamah bukan sekadar urusan politik, melainkan mandat ilahi. Sedangkan Sunni berpegang bahwa kepemimpinan harus diputuskan melalui musyawarah umat.
Perbedaan ini, yang semula politis dan historis, lambat laun membesar menjadi identitas, bahkan ditarik menjadi doktrinal dan emosional. Apalagi setelah tragedi Karbala tahun 680 M, saat cucu Nabi, Imam Husain, terbunuh secara tragis oleh pasukan penguasa Dinasti Umayyah yang mengklaim mewakili Islam.
Sejak saat itu, pertentangan semakin melebar, dan luka semakin dalam. Sejarah berubah menjadi propaganda. Mazhab dijadikan alat untuk saling menyesatkan. Padahal akar masalahnya bukan aqidah, tapi kekuasaan yang diperebutkan. Dan luka nya tidak pernah sembuh.
Sejak tragedi Karbala, propaganda di mimbar dan medsos hari ini, Syiah dikutuk, dianggap sesat. Bukan karena kita memahami perbedaan mazhab, tapi karena kita diwarisi amarah tanpa ilmu.
Setiap luka sejarah meninggalkan bekas. Bukan hanya di buku, tetapi juga di otak, dalam cara kita berpikir dan merasakan. Luka antara Sunni dan Syiah, dua mazhab besar dalam Islam telah berlangsung berabad-abad. Kita mewarisinya bukan melalui ilmu, melalui amarah, dogma, dan propaganda.
Luka Kolektif dan Otak Sosial Umat
Dalam neurosains, peristiwa traumatik disimpan dalam sistem limbik, khususnya amygdala, pusat pengolah rasa takut dan marah. Ketika trauma tidak disembuhkan, ia diwariskan lewat narasi, mimbar, buku sekolah, bahkan lelucon-lelucon yang menghina kelompok lain.
Akibatnya, generasi baru ikut membenci tanpa pernah tahu mengapa. (van der Kolk, 2014).
Jika dogma dan provokasi terus diulang, bisa terjadi neuroplastisitas kebencian. Otak menciptakan jalur cepat untuk menolak, marah, dan memusuhi. Kita menjadi umat yang reaktif, bukan reflektif. Mudah marah, tapi sulit memahami. (Ramachandran & Blakeslee, 1998).
Dogma membunuh akal. Saat seseorang diajari bahwa suatu kelompok “sesat” tanpa diajak berpikir, otaknya berhenti mengevaluasi. Sistem “default mode network” dalam otak memperkuat identitas kelompok dan membuat kita alergi pada yang berbeda. (Goleman, 2006).
Apa Kata Al-Qur’an?
Al-Qur’an tidak pernah mengajarkan permusuhan tanpa dasar. Sebaliknya, Al-Qur’an memerintahkan keadilan, bahkan kepada yang kita benci:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
“Berpeganglah kalian pada tali Allah bersama-sama, dan janganlah berpecah belah.” (QS. Ali-Imran: 103)
“Wahai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka…” (QS. Al-Hujurat: 11) (QS. Al-Hujurat: 11).
Nabi Muhammad SAW pun mengajarkan pemaafan, bahkan ketika disakiti di Thaif. beliau memilih kasih, bukan dendam. Beliau tahu, umat besar hanya bisa lahir dari rahmat, bukan dari kebencian. (Nasr, 2003; Haeri, 2006).
Kini, saatnya membaca ulang Sejarah, menyembuhkan luka ini dengan ilmu, bukan amarah. Neurosains mengingatkan bahwa kita bisa mewarisi kebencian, tapi kita juga bisa memilih untuk menyembuhkannya. Dan Al-Qur’an memberi kita jalan: dengan adil, kasih sayang, dan persatuan.
Musuh umat bukan Syiah atau Sunni. Musuh kita adalah kebodohan, fanatisme buta, dan ketidakadilan. Dari manapun dan dari siapa pun datangnya.