
Bayangkan: hanya empat hari kerja dalam seminggu. Gaji tetap. Produktivitas tidak hilang. Lalu ada satu hari ekstra yang bisa digunakan untuk membaca, berkebun, membersamai anak, atau sekadar memulihkan diri dari rutinitas. Bukan utopia, ini pernah dicoba di Islandia. Dan berhasil.
Empat Hari Kerja Bukan Lagi Mimpi
Negara kecil di utara Eropa itu mulai uji coba sistem kerja 35β36 jam per minggu sejak 2015. Hasilnya mengejutkan: hampir 90 persen pekerja kini menikmati jam kerja yang lebih pendek atau fleksibel, tanpa pemotongan gaji. Produktivitas tetap terjaga, bahkan di beberapa sektor justru meningkat. Tingkat stres menurun. Hidup terasa lebih seimbang.
Pertanyaannya: mungkinkah Indonesia menyusul?
Bisakah Indonesia Menyusul?
Tentu kita bukan Islandia. Namun menolak hanya karena βberbedaβ juga bukan jawaban. Indonesia punya sektor digital, finansial, teknologi, dan jasa yang mulai terbiasa bekerja berbasis hasil. Di ruang-ruang inilah, kerja empat hari bisa menjadi pilihan yang masuk akal, bahkan mungkin dibutuhkan.
Masalahnya, kita masih terjebak dalam budaya kerja berbasis kehadiran. Lama duduk di kursi sering dianggap tanda dedikasi. Padahal produktivitas bukan soal durasi, melainkan capaian. Di sinilah kita membutuhkan pembaruan cara pikir.
Tiga Langkah untuk Memulai
Langkah pertama: uji coba di sektor yang paling siap
Pemerintah bisa memulai dari lembaga yang sudah terdigitalisasi, seperti Kementerian Keuangan atau Ditjen Pajak. BUMN unggulan atau perusahaan multinasional juga bisa jadi laboratorium kebijakan. Indikatornya jelas: produktivitas, kepuasan kerja, dan efisiensi.
Langkah kedua: regulasi yang lentur
UU Ketenagakerjaan dan aturan turunannya perlu memberi ruang bagi fleksibilitas. Sistem kerja berbasis output harus punya payung hukum. Jangan seragamkan semua sektor. Justru karena Indonesia beragam, maka kebijakan perlu keluwesan.
Langkah ketiga: budaya kerja baru yang manusiawi
Pemimpin perlu berhenti mengukur loyalitas dari waktu lembur. Evaluasi harus bergeser dari “berapa jam di kantor” menjadi “apa yang sudah diselesaikan”. Ini bukan soal pemotongan hari kerja. Ini tentang menghargai waktu manusia.
Kekhawatiran yang Perlu Dijawab
Banyak yang khawatir kerja empat hari akan memperparah pengangguran. Namun sejumlah studi menunjukkan hal sebaliknya. Ketika jam kerja dipangkas, perusahaan justru membuka lowongan baru untuk menutup kebutuhan operasional. Ini membuka ruang bagi pekerja paruh waktu, ibu rumah tangga, atau mahasiswa.
Namun di luar soal angka dan statistik, ada hal yang lebih mendasar.
Lebih dari Jam Kerja: Ini Soal Martabat Hidup
Lebih dari sekadar hitungan hari kerja, ini adalah soal martabat hidup. Manusia bukan mesin. Kita butuh waktu untuk menjadi utuh, bukan sekadar alat produksi, tetapi juga orang tua, tetangga, warga, dan pencari makna.
Generasi muda tak lagi ingin hidup untuk bekerja. Mereka ingin bekerja untuk hidup. Kini giliran negara mendengarkan. Bukan dengan pidato, tetapi dengan keberanian berubah.
Ilustrasi dan editing dibantu AI
Pingback: Luka Sejarah, Neurosains, dan Nasihat Al-Qur’an – My Blog