Guncangan Ekonomi, Gizi Anak, dan Jalan Desa Menuju Kedaulatan Pangan

Shared tulisan

Riset terbaru yang dipimpin oleh Natanael J. Silva dan dikordinasi oleh Davide Rasella, dipublikasikan di The Lancet Global Health (Juni 2025), membongkar kenyataan pahit. Guncangan ekonomi pada awal kehidupan anak, bahkan sejak di dalam kandungan, meninggalkan jejak panjang gizi buruk. Ini bukan hanya sekadar urusan berat badan atau tinggi anak. Gizi buruk menentukan daya pikir, kesehatan dan ketahanan masa depan bangsa.

Para peneliti menganalisis data dari 230 survei nasional di 68 negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan melibatkan lebih dari 1,6 juta anak. Mereka menemukan pola yang jelas. Berkurangnya pendapatan rumah tangga sebesar 1% hingga 10% pada tiga titik kritis , saat wawancara, saat kelahiran, dan pada 1.000 hari pertama kehidupan berdampak nyata pada gizi anak.

Tahun kelahiran: Penurunan pendapatan meningkatkan risiko stunting secara bertahap.

Saat wawancara: Guncangan ekonomi memicu wasting (anak kurus) sebagai tanda krisis gizi akut.

Pada 1.000 hari pertama: Risiko double burden of malnutrition. Stunting sekaligus kelebihan berat badan melonjak hingga 30%.

Fenomena ini mudah ditemui di sekitar kita. Di desa, ketika harga gabah anjlok, pendapatan petani terjun bebas. Di kota, ketika biaya hidup melambung, buruh harian hanya mampu membeli karbohidrat murah tanpa lauk bergizi. Ibu hamil kekurangan protein, bayi kehilangan asupan tepat di masa kritisnya. Benih masalah itu akan dipanen puluhan tahun kemudian.

Persoalan pengangguran memperparah krisis gizi. Jutaan pemuda menganggur atau terjebak pekerjaan serabutan berupah rendah. Pendapatan rumah tangga pun rapuh, sehingga akses terhadap pangan bergizi semakin jauh dari jangkauan. Anak-anak akhirnya tumbuh dalam kondisi rapuh, dihantui kekurangan gizi. Bukan karena tanah kita tidak subur, melainkan karena orang tuanya tidak memiliki penghasilan yang layak.

Seperti air yang mengikis batu, dampaknya tidak kasatmata hari ini. Kelak di ruang kelas akan terlihat anak-anak berdaya kognitif rendah. Rumah sakit kewalahan menangani berbagai penyakit metabolik. Pasar kerja kesulitan menemukan tenaga muda yang sehat dan cerdas.

Hikmah dan Jalan Keluar

Menjaga gizi anak bukan sekadar urusan dapur. Ini soal stabilitas ekonomi keluarga dan kebijakan negara. Perlindungan gizi harus berawal dari menjaga pendapatan keluarga agar tetap mengalir di masa krisis. Program seperti PKH, bantuan pangan, dan layanan kesehatan ibu-anak mesti menjadi pagar pengaman pertama. Pendidikan gizi dan sanitasi juga harus menembus desa dan pinggiran kota. Keluarga harus memahami bahwa memberi makan anak bukan sekadar soal kenyang, tetapi investasi masa depan.

Di sinilah masyarakat memainkan peran penting. Tetangga yang saling membantu, komunitas yang sigap menggalang dukungan, hingga gerakan pangan lokal yang menghubungkan petani dan konsumen tanpa perantara panjang. Semua itu menjadi โ€œvaksin sosialโ€ melawan dampak guncangan ekonomi pada gizi anak.

Program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) harus diarahkan menjadi lokomotif kemandirian pangan berbasis pedesaan. Jika MBG hanya mengandalkan bahan impor atau pangan industri besar, program ini hanya menambah ketergantungan. Sebaliknya, bila digerakkan dari desa dengan tempe berbasis kacang lokal, sayuran dari kebun petani, atau ikan air tawar dan telur ayam kampung , program ini akan menjadi mesin penggerak ekonomi desa sekaligus sumber gizi anak bangsa.

Koperasi Desa Merah Putih dapat mengambil peran strategis. Sebagai simpul ekonomi rakyat, koperasi desa harus mampu menghimpun petani, peternak, dan nelayan untuk memasok pangan segar langsung ke dapur sekolah MBG atau ke dapur keluarga. Dari desa untuk desa. Dari desa untuk bangsa. Dengan begitu, akses masyarakat terhadap pangan bergizi terjamin sekaligus menumbuhkan kemandirian ekonomi pedesaan.

Bangsa ini tidak akan pernah berdaulat gizi bila pangan anak-anaknya bergantung pada impor. Karena itu, MBG dan Koperasi Desa Merah Putih harus ditempatkan sebagai instrumen membangun kemandirian pangan. Kedaulatan pangan bukan slogan, tetapi pilihan nyata: memberi makan anak-anak kita dengan hasil bumi sendiri.

Dari desa yang berdaulat, lahir generasi yang sehat, kuat, dan cerdas.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top