
Sejarah Orde Baru sering dituturkan sebagai kisah pembangunan. Cerita tentang pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keberhasilan menekan inflasi. Namun di balik semua itu ada kisah mengenai empat sosok yang bukan hanya ikut, namun bahkan sangat menentukan arah ekonomi bangsa.
Media menjuluki mereka Gang of Four.
Nama-nama itu adalah Sudono Salim, Sudwikatmono, Sutanto Djuhar, dan Ibrahim Risjad.
Sudono Salim (Liem Sioe Liong)
Seorang imigran asal Fujian yang awalnya belum berstatus WNI, hidupnya berubah setelah dikenalkan Sudwikatmono kepada Suharto. Dari pertemuan itu lahir Salim Group dengan akses istimewa pada impor, konsesi strategis, dan kelahiran raksasa seperti Bogasari, Indofood, dan BCA.
Sudwikatmono
Sepupu Suharto ini berperan sebagai mediator bisnis-birokrasi. Ia menjadi pintu penghubung antara modal dan kekuasaan. Di balik banyak proyek besar, Sudwikatmono berdiri sebagai “penembus jalan” yang membuat bisnis keluarga ini mulus mengalir.
Ibrahim Risjad
Seorang pejabat Aceh yang punya reputasi kuat dalam lobi politik. Ia menjadi figur yang mempertautkan kepentingan ekonomi empat sekawan ini dengan lingkaran kekuasaan. Risjad bukan sekadar pengusaha, melainkan juru lobi yang memastikan semua pintu negara terbuka.
Sutanto Djuhar (Liem Oen Kian)
Partner lama Salim. Ia menjadi tulang punggung dalam membangun perusahaan inti PT Waringin Kentjana, cikal bakal Bogasari dan Indocement. Meski kemudian lebih banyak berekspansi ke luar negeri, peran awalnya sangat penting dalam membentuk fondasi konglomerasi Orde Baru.
Lahirnya Embrio Kelembagaan Ekstraktif
Mendapat mandat dari Suharto, keempatnya membagi peran dengan rapi. Salim sebagai otak bisnis. Sudwikatmono sebagai penghubung kekuasaan. Djuhar fokus industrialisasi, dan Risjad piawai melobi. Dengan kombinasi ini, mereka menguasai sektor vital di negeri ini, dari pangan, semen, perbankan, hingga distribusi nasional.
Kisah mereka bukan sekadar cerita sukses bisnis. Ini adalah cikal bakal atau jejak awal terbentuknya kelembagaan ekstraktif di Indonesia. Sistem di mana negara tidak menjadi wasit yang adil. Sebaliknya, negara menjadi pelayan bagi segelintir elite atau orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Mulai dari lisensi impor, monopoli distribusi, akses modal terhadap kredit bank negara, semuanya mengalir bukan karena daya saing, melainkan karena restu istana. Ekonomi tumbuh, tetapi tidak merata. Kekayaan berputar hanya di lingkaran elite. Sementara rakyat banyak terpinggirkan menjadi penonton.
Mandat dari Istana
Tak ada pelantikan resmi. Tidak ada surat keputusan atau Keputusan Presiden. Tidak ada rapat pembahasan oleh anggota dewan di Gedung DPR. Pertemuan empat pengusaha dengan Suharto di awal Orde Baru ibarat sebuah ritual sunyi yang melahirkan oligarki. Dari sanalah lahir mandat tak tertulis: bisnis mereka menjadi “anak emas” negara.
Mereka tidak membangun ekonomi dari bawah. Mereka membangunnya dari atas. Turun langsung dari rahim kekuasaan. Dari sinilah sejarah oligarki Indonesia dimulai.
Oligarki yang Merajalela
Krisis moneter 1997–1998 menghantam keras gurita bisnis Gang of Four. Rupiah anjlok dari Rp2.500 menjadi lebih dari Rp15.000 per dolar, sementara sebagian besar usaha mereka dibiayai utang dolar. Bank Central Asia (BCA), bank swasta terbesar milik Grup Salim, kolaps akibat rush dan terpaksa diambil alih pemerintah melalui BPPN.
Untuk melunasi kewajiban terhadap fasilitas negara, keluarga Salim harus menyerahkan aset-aset strategis. Indocement dilepas, Indomobil berpindah kepemilikan, dan BCA akhirnya jatuh ke tangan investor asing sebelum kemudian dikuasai Grup Djarum. Banyak lahan perkebunan dan properti besar juga lepas dari genggaman mereka.
Ironinya, pelepasan ini tidak mengakhiri oligarki. Aset yang tadinya dikuasai Gang of Four hanya berpindah tangan kepada kelompok konglomerat lain dan investor asing. Sistem ekstraktif tetap hidup, hanya berganti pemain.
Menuju Negara Gagal.
Kelembagaan ekonomi inilah yang oleh Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya Why Nations Fail (2012) disebut extractive institutions atau institusi ekstraktif. Institusi semacam ini hanya melayani elite, menutup peluang bagi rakyat banyak, dan menghisap sumber daya bangsa untuk kepentingan segelintir orang.
Kebalikan dari institusi ekstraktif adalah inclusive institution. Kelembagaan yang membuka kesempatan, melindungi hak, dan memberi ruang partisipasi setara bagi semua warga.
Namun, sejak Orde Baru, Indonesia terjebak dalam jalur ekstraktif.
Persekutuan modal dan kekuasaan yang menjelma menjadi oligarki. Itulah sebabnya, cita-cita kemerdekaan “ untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” tak pernah dan tidak akan terwujud.
Kini, pilihan ada di hadapan kita.. Akankah membiarkan warisan oligarki ini terus mengekang, atau kita berani membangun institusi yang inklusif, yang memberi ruang adil bagi setiap anak bangsa.
Kemerdekaan hanya nyata bila rakyat menjadi tuan di negeri sendiri.
ditulis dengan bantuan AI