
Beberapa hari terakhir publik digemparkan oleh hasil investigasi yang mengungkap potensi skandal serius di balik Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program yang awalnya dimaksudkan mulia, yakni memberi asupan gizi sehat bagi anak sekolah, ternodai oleh kabar bahwa nampan stainless steel yang dipakai justru berisi masalah.
Investigasi oleh Indonesia Business Post (IBP) mengungkap bahwa nampan impor dari Tiongkok diberi label “Made in Indonesia” dengan logo SNI palsu. Issue lain adalah bahwa proses produksi nampan diduga menggunakan pelumas berbasis minyak babi.
“Kami menemukan indikasi lard oil dalam proses produksi tray di Chaoshan, Guangdong,” tulis IBP dalam laporan investigasinya
Di mana pengawasan kita?
Bukankah anggaran raksasa telah digelontorkan untuk program ini? Ketika temuan seperti itu dibuka ke publik, kecurigaan bahwa program disusupi kepentingan bisnis menjadi sulit ditepis.
Kesalahan dan Pelanggaran
Setidaknya, ada dua persoalan yang tersingkap.
Pertama, pelanggaran hukum dan regulasi. Barang impor dilabeli seolah buatan dalam negeri, jelas menyalahi aturan perdagangan internasional maupun nasional.
Kedua, ketidakjujuran mutu. Nampan yang seharusnya food grade tipe 304 ternyata banyak yang berbahan tipe 201. Lebih murah tapi rawan karat dan berisiko melepaskan logam berbahaya.
BPOM Jawa Tengah bahkan menemukan “65 dari 100 tray yang diuji gagal uji logam berat dan tidak memiliki sertifikasi resmi” (IBP, 2025).
Ini bukan sekadar kesalahan teknis. Tetapi mencerminkan pola yang sama berulang. Kebijakan besar dijalankan dengan terburu-buru. Pengawasan longgar dan ruang publik dibatasi dari awal. Program yang seharusnya membawa kebaikan justru menimbulkan keresahan baru.
Bahaya bagi Program
Efek negatifnya bisa panjang. Kepercayaan masyarakat terhadap MBG runtuh sebelum program benar-benar matang. Orang tua gelisah, siswa terancam kesehatan. Dan pemerintah kehilangan kredibilitas.
Lebih dari itu, kita berisiko terjebak dalam logika sempit. Keberhasilan MBG diukur dari distribusi jutaan nampan semata. Bukan dari perubahan nyata dalam kualitas gizi anak bangsa.
Padahal makanan sehat tidak harus lahir dari alat makan mewah. Makanan sehat dihasilkan dari proses produksi pangan yang jujur, bersih, dan melibatkan banyak pihak.
Mengapa Harus Serba Instan?
Di sini letak persoalan mendasar. Mengapa setiap program besar selalu didesain instan, seakan semua masalah bisa dibereskan dalam satu hari?
Padahal program pendidikan gizi, apalagi melibatkan jutaan anak sekolah, mestinya berjalan bertahap, berbasis komunitas, dan mengakar di masyarakat.
Alih-alih memesan nampan jutaan unit dari luar negeri, bukankah lebih indah bila MBG mendorong partisipasi rakyat? Bayangkan jika bahan pangan dipasok langsung dari petani lokal, dapurnya digerakkan oleh ibu-ibu di pedesaan dengan semangat gotong royong, dan anak-anak membawa piring dari rumah masing-masing.
Tidak ada biaya besar untuk pengadaan alat makan. Tidak ada celah korupsi impor, justru yang ada adalah rasa memiliki.
Model seperti ini bukan hanya lebih murah, tapi juga memperkuat ekonomi desa. Lapangan kerja terbuka , dan hubungan social masyarakat menjadi lebih erat.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Proyek diborong dengan pendekatan top-down, diselesaikan lewat pengadaan massal, dan dijalankan seolah rakyat hanyalah penonton.
Anggota DPR. Nurhadi dari Komisi IX membongkar adanya “dapur fiktif” dan permainan kuota. Sementara Habiburokhman mengaku memiliki dapur di Jakarta Timur (Antara, 2025). Semua ini memperkuat kesan bahwa MBG bukan sekadar program gizi untuk anak sekolah. MBG juga arena perebutan pengaruh dan bisnis di kalangan elite politik.
Semangat yang Terlupa
Kita sering lupa bahwa bangsa ini dibangun di atas semangat gotong royong. Program sebesar MBG seharusnya menghidupkan kembali energi kolektif itu.
Mengajak petani ikut menanam bahan pangan, Melibatkan ibu-ibu di desa mengelola dapur. Memberi ruang bagi koperasi di desa untuk mengatur distribusi.
Semua itu akan menumbuhkan rasa percaya, bahwa negara hadir bukan hanya lewat anggaran, tapi juga lewat keberpihakan nyata pada rakyat kecil.
Penutup
Skandal nampan MBG memberi pelajaran berharga. Niat baik saja tidak cukup. Tanpa tata kelola yang transparan, tanpa pelibatan rakyat, dan tanpa keberanian melawan kepentingan sempit, program sebesar apa pun bisa berubah jadi masalah.
Bila program ini benar benar pro rakyat, libakan rakyat menjadi pelaku utamanya. Sebab hanya dengan begitu, MBG akan menjadi warisan kebaikan. Bukan sekadar catatan pahit dalam sejarah.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI