
Ibnu Khaldun. Seorang pemikir muslim abad ke-14 yang namanya sering dilupakan. Lahir di Tunis tahun 1332, wafat di Kairo tahun 1406. Ia menulis karya besar Al-Muqaddimah. Kitab yang disebut banyak orang sebagai fondasi ilmu sosial modern.
Bagi Ibnu Khaldun, sejarah bukan sekadar nama raja, perang, dan silsilah. Sejarah adalah tentang masyarakat, solidaritas, dan daya hidup. Kunci utamanya ia sebut ‘ashabiyah. Yaitu ikatan sosial yang membuat bangsa bisa bangkit, dan runtuh bila perekat itu melemah.
Katanya, “Negara atau Kerajaan, hanya dapat berdiri dengan solidaritas kelompok. Bila solidaritas itu hilang, kerajaan pun akan lenyap.”
Ia juga menulis bahwa tiap peradaban punya siklus. Negara lahir dengan semangat, tumbuh dengan kerja keras, berjaya dengan disiplin. Lalu melemah karena kemewahan dan korupsi. Pada titik itu, mereka akan digantikan oleh kelompok lain yang lebih kuat.
Pertanyaannya: bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia?
Apakah ‘ashabiyah kita masih kokoh, atau sudah retak oleh perebutan kuasa, kesenjangan, dan kepentingan sempit?
Ibnu Khaldun mengingatkan, “Ketika penguasa lebih mementingkan kemewahan dan meninggalkan keadilan, itulah awal kehancuran negara.”
Ia pun bicara soal ekonomi.
Baginya, negara yang membebani rakyat dengan pajak tinggi akan kehilangan tenaga produktif. Katanya, “Kenaikan pajak pada akhirnya akan mengurangi penerimaan, karena rakyat kehilangan gairah untuk bekerja.” Relevan sekali dengan kondisi hari ini, ketika kebijakan ekonomi sering lebih berpihak pada elite daripada masyarakat luas.
Lebih dari semua teori itu, Ibnu Khaldun mengajarkan sikap kritis. Ia menulis, “Sejarawan harus menyelidiki berita, menimbang kebenarannya, dan menolak kebohongan.” Pesannya jelas: jangan telan bulat-bulat informasi, apalagi yang datang dari mereka yang punya kepentingan.
Kita tak cukup hanya merenung.
Ajakan Ibnu Khaldun jelas: bangun kembali ‘ashabiyah, tegakkan keadilan, luruskan kebijakan, dan berani menghadapi kenyataan apa adanya. Tanpa itu semua, kita hanya menunggu giliran sejarah untuk mengulang siklus keruntuhan.
Hari ini, kita melihat tanda-tanda yang ia sebutkan: penguasa yang sibuk menumpuk kemewahan, rakyat yang kian terhimpit pajak, dan solidaritas yang digerogoti kepentingan sempit. Inilah resep pasti menuju kejatuhan sebuah bangsa.
Maka pertanyaannya sederhana tapi keras:
Apakah kita akan membiarkan republik ini dikubur oleh kerakusan elite, atau kita akan berdiri untuk merebut kembali arah sejarah? Karena bila rakyat diam, sejarah tak akan ragu mencatat kita sebagai bangsa yang gagal mempertahankan dirinya sendiri.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI