Belajar dari Hidung

Shared tulisan

Kadang, kita terlalu sibuk menatap langit, sampai lupa bahwa keajaiban bisa saja tersembunyi di lubang hidung kita.

Ilmuwan dari Korea Selatan baru saja menciptakan filter udara generasi baru yang terinspirasi dari hidung manusia. Bukan dari satelit, bukan dari kecerdasan buatan, tapi dari sesuatu yang selama ini kita anggap sepele: rambut halus dan lendir di rongga hidung.

Mereka mengamati bahwa sebelum udara masuk ke paru-paru, tubuh telah memiliki sistem pertahanan canggih yang bekerja tanpa henti. Rambut halus menyaring partikel kasar. Lendir menjebak debu halus, polutan, bahkan mikroorganisme. Dan semuanya terjadi tanpa suara, tanpa listrik, tanpa mesin.

Maka para ilmuwan meniru sistem ini. Mereka menciptakan filter dengan lapisan silikon oil setebal 200โ€“500 nanometer. Sangat tipis, nyaris tak terlihat. Tapi justru karena tipis dan lentur, ia menangkap lebih banyak debu lewat gaya gesek alami, bukan paksaan mekanik.

Lebih dari itu, filter ini tidak sekali pakai. Bisa dicuci dan digunakan ulang berkali-kali tanpa kehilangan efektivitas. Ramah paru-paru sekaligus ramah lingkungan.

Kini, ketika kota-kota kita dicekik polusi, para insinyur justru membuka kembali kitab biologis yang telah Allah titipkan dalam tubuh: bagaimana cara kita bernapas, menyaring, dan menjaga kehidupan.

Bayangkan jika semua penyaring udara, AC, dan ventilasi kota meniru prinsip ini. Bukan hanya bersih, tapi juga hemat dan berkelanjutan. Polusi berkurang tanpa menambah limbah.

Inovasi ini menjadi pengingat penting: tubuh kita bukan sekadar wadah hidup, tapi ensiklopedia ilmu yang belum kita pahami sepenuhnya.

Leluhur kita menyebut tubuh sebagai alam leutik, jagat kecil tempat segala rahasia semesta disimpan. Tak heran jika tradisi pengobatan kuno Nusantara tak bergantung pada teori luar, tapi mengamati dengan khusyuk cara tubuh bekerja. Luhur bukan karena rumit, tapi karena sederhana dan selaras.

Al-Qurโ€™an berulang kali mengajak manusia untuk memperhatikan ciptaan-Nya. Bukan hanya langit dan bumi, tapi juga diri sendiri:

โ€œDan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?โ€ (QS Adz-Dzariyat: 21)

Tak heran bila kitab suci juga memerintahkan:

โ€œโ€ฆdan bacalah Al-Qurโ€™an itu dengan perlahan-lahan (tartil).โ€ (QS Al-Muzzammil: 4)
Yang oleh para mufasir diartikan sebagai membaca dengan penghayatan, bukan sekadar mengeja.

Sudah waktunya para peneliti kita berhenti mengekor dan mengulang penelitian asing. Mulailah dari yang paling dekat: tubuh kita sendiri, halaman belakang rumah, dan semesta kecil di sekitar.

Masa depan tidak bergantung pada apa yang ditemukan di luar sana, tetapi pada seberapa dalam kita mau memperhatikan apa yang telah ditanamkan
di dalam diri kita sendiri.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top