
Negeri ini tak kekurangan orang pintar. Kita hanya kekurangan orang yang cukup. Cukup kaya untuk tidak mencuri. Cukup kuat untuk tidak menindas. Dan cukup berkuasa untuk tidak rakus.
Di tengah pesta ketamakan yang merajalela, ada satu nilai yang nyaris hilang dari kamus. Asketik yakni hidup secukupnya. Hidup secukupnya dengan sadar, dengan batin yang terjaga.
Asketik bukan hidup miskin. Asketik bukan anti kemajuan. Asketik adalah keberanian untuk bilang βcukupβ di tengah dunia yang terus berteriak βkurang!β Justru karena itu, ia jadi penting hari ini.
Peter Brown, dalam bukunya The Body and Society: Men, Women, and Sexual Renunciation in Early Christianity (1988), menulis tentang para pertapa Kristen awal yang memilih hidup di luar kota, jauh dari istana, jauh dari pasar. Mereka bukan lari dari dunia, hanya menolak jadi budaknya. Mereka diam diam menjaga martabat manusia ketika kekuasaan mulai kehilangan arah.
Max Weber, melalui karya klasiknya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905), menunjukkan bahwa etos kerja yang membangun peradaban Barat bukan lahir dari kerakusan, tapi dari semangat asketik Protestan. Bekerja keras, hidup hemat, dan menolak foya-foya. Mereka tahu bahwa ketika uang jadi satu-satunya ukuran hidup, manusia akan jadi kerdil.
Dari khazanah Islam, Sayyed Hossein Nasr dalam Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (1990) menyebut asketik sebagai bentuk adab kepada alam. Orang yang zuhud tidak menjarah, tidak mengeruk. Ia cukup. Karena ia paham bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu. Dan yang dititipi, tidak boleh serakah.
Karen Armstrong menyimpulkan hal yang sama dalam bukunya The Case for God (2009). Menurutnya, semua ajaran spiritual besar mengajarkan pengendalian diri, kesederhanaan, dan belas kasih. Bukan sekadar soal moral, tapi soal keberlangsungan hidup manusia.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Kita bicara soal moral di ruang sidang, tapi memborong tanah untuk tambang. Kita khotbah tentang akhirat, tapi berebut proyek duniawi. Kita menyebut Tuhan, tapi lupa adab. Mungkin karena kita tak lagi punya keberanian untuk hidup sederhana.
Kalau kita ingin menyelamatkan negeri ini, harus mulai dari keberanian itu. Keberanian untuk tidak rakus. Keberanian untuk tidak selalu ingin lebih.
Dan itu dimulai dari siapa?
Dari siapa saja yang masih punya hati. Dari para pemimpin yang mau memberi contoh, bukan sekadar ceramah. Dari guru yang tak tergoda amplop. Dari pengusaha yang berani memilih untung sedikit asal berkah panjang. Dari orangtua yang lebih bangga punya anak jujur ketimbang anak tajir.
Asketik adalah nilai yang tidak bising.
Kalau negeri ini mau pulih, kita tidak perlu lebih banyak undang-undang. Kita butuh lebih banyak orang yang merasa cukup.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI