
Hidup di Zaman Konsumerisme
Kita hidup di zaman yang penuh ironi. Belanja bukan lagi karena kebutuhan, tetapi karena diskon. Makan bukan hanya untuk kenyang, tetapi supaya bisa difoto dan dipamerkan. Hidup berubah menjadi panggung yang penuh dengan pencitraan, bukan perjalanan yang penuh makna. Kita bisa jadi ikut-ikutan berpura-pura mampu, hanya untuk dilihat orang lain.
Kapitalisme modern sangat cerdas. Ia tidak hanya menjual barang, tetapi juga menciptakan rasa ingin yang tidak pernah ada sebelumnya. Seperti yang disampaikan oleh Ivan Illich dalam karya Deschooling Society, pasar tidak hanya menjual produk, tetapi menciptakan kebutuhan yang baru, yang sebelumnya tidak kita sadari.
Dengan hadirnya gaya hidup minimalis dan slow living, banyak orang berusaha hidup sederhana dan sadar finansial. Namun, seringkali itu bukanlah kesadaran diri, melainkan keterpaksaan yang dibungkus dengan istilah keren.
Kearifan Lama yang Tersenyum
Sementara itu, orang tua kita dulu telah menjalani hidup sederhana tanpa istilah modern. Mereka hidup dengan prinsip nrimo, tepa selira, dan cukup. Tidak hidup mewah, tetapi juga tidak kekurangan. Saat mereka butuh sayur, mereka menanamnya sendiri. Saat sabun habis, mereka membuatnya sendiri. Hidup mandiri bukan karena tren iklan, tetapi berdasarkan nilai yang dipegang teguh.
Sayyed Hossein Nasr pernah menulis dalam Man and Nature bahwa peradaban tradisional membangun kebijaksanaan dari harmoni dengan alam, bukan dengan dominasi terhadapnya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai lama lebih dekat dengan kedamaian batin dan keseimbangan alam.
Ikhlas: Kebaikan Tanpa Publisitas
Idul Adha datang sebagai pengingat yang sunyi. Tentang memberi tanpa nama, tentang kurban yang dilakukan bukan karena kamera, tetapi karena keyakinan dan ketulusan. Dalam kisah Ibrahim dan Ismail, mereka tidak mengundang wartawan atau membuat video testimoni. Semuanya berlangsung dalam diam, percaya, dan rela.
Peter Brown, dalam bukunya The Body and Society, menjelaskan bahwa pengorbanan sejati dilakukan bukan untuk pengakuan publik, tetapi sebagai latihan spiritual untuk melepaskan ego. Di era sekarang, bahkan memberi satu kambing bisa menjadi ajang pencitraan. Semua ini baik, namun kebaikan yang datang dengan diam sering kali lebih mulia.
Asketisme dan Keberanian Mengikhlas
Di dunia yang serba ingin pamer ini, ikhlas menjadi barang langka. Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, ketika hidup dikendalikan oleh rasionalisme ekonomi, kita kehilangan alasan untuk merasa cukup. Semua diukur dengan angka dan prestasi, bukan dengan kedamaian batin.
Asketik bukan berarti hidup melarat. Ia adalah hidup yang tidak dikuasai oleh keinginan dan hasrat. Mandiri bukan soal gengsi, tetapi tentang harga diri: kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tanpa bergantung pada produk luar. Asketisme sejati adalah kebebasan dari konsumerisme, sebuah bentuk kebebasan yang sering kita lupakan.
Menjaga Martabat di Dunia yang Terlalu Pamer
Jika kita terus-terusan menjadi bagian dari pasar, kita akan kehilangan panggung hidup kita. Hidup kita akan ditentukan oleh siapa yang bisa menjual lebih pintar. Namun, jika kita kembali ke nilai yang diajarkan oleh dapur nenek, surau tua, dan ladang kecil di belakang rumah, kita tak perlu takut dilupakan zaman.
Kita tidak sedang mengejar kemewahan. Kita sedang menjaga martabat. Dan kadang, itu sudah cukup.
Ilustrasi dan editing dibantu AI
Pingback: Luka Sejarah, Neurosains, dan Nasihat Al-Qur’an – Agus Somamihardja
Pingback: Bertani Tradisional, Berdaya Global – Agus Somamihardja