
Ketika saya bertanya, “Siapa Anda?” besar kemungkinan Anda akan menjawab dengan nama, pekerjaan, atau peran sosial.
Tetapi, neurosains modern mengajak kita menggali lebih dalam.
David Eagleman, seorang ahli neurosains yang dikenal lewat bukunya Incognito dan The Brain: The Story of You, menegaskan bahwa “diri” bukanlah sesuatu yang tetap. Identitas kita tidaklah tunggal, melainkan kumpulan proses otak yang terus berubah dari waktu ke waktu.
Bayangkan otak seperti sebuah orkestra besar. Tidak ada satu pemain pun yang bisa disebut sebagai “musik”. Musik hanya ada ketika semua instrumen dimainkan bersama.
Begitu pula dengan diri kita. Rasa takut, gembira, marah, ingatan, harapan, hingga mimpi, semuanya hanyalah hasil kerja jaringan otak yang saling berinteraksi.
Identitas yang Lentur
Seperti musik yang berubah sesuai nada dan tempo, identitas kita pun bergeser setiap saat, dipengaruhi oleh pengalaman baru, emosi, dan bahkan hormon yang sedang dominan.
Otak menyimpan miliaran sel saraf yang membentuk peta unik. Peta ini mencatat pengalaman, kebiasaan, dan ingatan kita. Tidak ada satu titik tunggal di otak yang menjadi pusat “diri”.
Karena itu, identitas bukanlah sesuatu yang statis. Ia berubah setiap kali kita belajar hal baru, melewati pengalaman besar, atau membangun relasi mendalam. Misalnya, seseorang yang menjadi orang tua tidak hanya berubah secara sosial, tetapi juga secara biologis.
Penelitian menunjukkan bahwa struktur otak orang tua benar-benar menyesuaikan diri agar lebih mampu merawat dan melindungi anak.
Namun, identitas juga bisa terguncang. Cedera, penyakit, atau trauma emosional mampu mengubah cara seseorang berpikir, berbicara, bahkan merasakan dunia. Seolah-olah tubuh yang sama kini dihuni oleh “orang berbeda”. Semua ini adalah bukti bahwa diri kita melekat erat pada keadaan otak.
Naskah Diri yang Bisa Ditulis Ulang
Apa pelajaran pentingnya?
Karena identitas dibentuk oleh kebiasaan dan pengalaman, kita punya kekuatan untuk menulis ulang sebagian dari “naskah diri” kita. Dengan sengaja memilih lingkungan, aktivitas, dan pergaulan yang sehat, kita membentuk ulang jalur saraf yang membangun siapa kita.
Menyadari bahwa diri terus berubah membuat kita lebih lentur memandang kehidupan. Perubahan bukan kelemahan, melainkan bagian alami dari otak yang selalu belajar. Dari sini muncul sikap baru dalam berhubungan dengan orang lain: kita lebih mudah menerima bahwa mereka pun sedang berubah, berkembang, dan berproses.
Sahabat yang dulu kita kenal bisa saja kini berbeda. Pasangan kita mungkin tidak lagi sama seperti sepuluh tahun lalu. Anak-anak setiap hari menjadi pribadi baru. Dengan kesadaran itu, kita belajar bersabar, berempati, dan tidak kaku menuntut orang lain tetap seperti dulu.
Dari Identitas Pribadi ke Identitas Bangsa.
Seperti otak yang membentuk identitas individu, pengalaman kolektif rakyat membentuk identitas bangsa. Sama halnya dengan individu yang bisa menulis ulang “naskah diri”-nya, bangsa pun bisa menulis ulang “naskah kebangsaannya”.
Hari ini kita menyaksikan betapa rapuhnya identitas kebangsaan ketika pangan, energi, dan ekonomi kita bergantung pada pihak luar. Namun, seperti otak yang lentur (plasticity), bangsa pun bisa berubah.
Kedaulatan pangan, misalnya, dapat dicapai bila kita membangun kesadaran kolektif untuk memilih dan melatih diri dengan kebiasaan sehari-hari: makan dari tanah sendiri, memberdayakan petani sendiri, dan menumbuhkan kebanggaan pada produk lokal.
Latihan Kecil, Perubahan Besar
Mari mulai dari langkah sederhana. Cobalah tuliskan tiga hal yang menurut Anda penting dalam identitas diri hari ini. Pilih satu yang ingin Anda perkuat atau ubah. Misalnya, jika ingin lebih tenang, biasakan jeda sejenak sebelum merespons sesuatu.
Begitu juga dengan bangsa. Jika kita ingin lebih berdaulat, mulailah dari kebiasaan kecil: memilih pangan lokal di pasar, mendukung petani sekitar, atau mengurangi ketergantungan pada impor.
Setiap pilihan kecil memberi sinyal kuat pada “otak bangsa” untuk membangun jalur baru menuju kemandirian.
Penutup
Pada akhirnya, diri kita adalah cerita yang sedang ditulis. Kabar baiknya, pena itu ada di tangan kita. Begitu pula dengan bangsa. Ia bukan takdir yang beku, melainkan naskah kolektif yang bisa kita tulis ulang bersama.
Seperti otak yang mampu belajar sepanjang hayat, bangsa ini pun mampu bangkit, belajar, dan berdaulat, asal kita mau melatihnya, sedikit demi sedikit, dengan tekad yang konsisten.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI