Otak Yang Letih di balik Layar

Shared tulisan

Dulu, ketika malam datang, kita ditemani lampu temaram dan obrolan ringan bersama keluarga. Kini, malam sering kita habiskan dengan layar di tangan, jari yang tak henti menggulir, dan kepala yang terasa berat tanpa tahu sebabnya.

Di balik riuh video singkat dan meme lucu, para ilmuwan menyebut kelelahan ini sebagai brain rot, yakni otak yang jenuh karena diserbu potongan informasi cepat, tanpa jeda, tanpa makna mendalam. Kelelahan ini membuat kita sulit tidur, kehilangan fokus, cepat marah, bahkan kehilangan daya untuk membedakan mana fakta dan mana tipu daya.

Litbang Kompas mencatat, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia sudah merasakan gejalanya: mata kering, tidur terganggu, memori kacau. Namun dampak sebenarnya jauh lebih dalam. Paparan layar yang berlebihan mengubah perilaku sosial dan cara otak bekerja. Penelitian American Psychological Association (APA, 2022) menunjukkan, overuse gawai menghambat fungsi eksekutif otak, kemampuan mengambil keputusan, menyusun prioritas, dan mengendalikan dorongan.

Kita seperti kehilangan arah. Dalam sunyi kamar, kita terus menggulir tanpa sadar: siapa menggiring siapa? Apakah kita yang memegang layar, atau layar yang memegang kita?

Para sosiolog mengingatkan: algoritma bukanlah hal netral. Ia dirancang untuk membuat kita bertahan di dalamnya. Ia membelai otak dengan semburan dopamine, hormon kesenangan instan. Kita merasa rileks, padahal sedang perlahan dijerat dalam siklus adiksi yang menggerus kesadaran. Seperti racun halus yang bekerja dari dalam, ia mengubah cara kita merasa, berpikir, dan bertindak (Tristan Harris, Center for Humane Technology, 2021).

Anak-anak yang terlalu lama di depan layar menunjukkan penurunan empati, gangguan tidur, bahkan gejala pseudo-autism. Di kalangan dewasa muda, waktu layar yang berlebihan dikaitkan dengan depresi, penurunan produktivitas, dan krisis makna hidup. Digital fatigue adalah pandemi sunyi yang mencuri masa depan generasi ini (Daniel Levitin, The Organized Mind, 2015).

Mungkin sudah waktunya kita bertanya: kapan terakhir kali kita memberi otak kita waktu untuk beristirahat? Kapan terakhir kita membaca buku tanpa tergesa? Atau mendengarkan suara kicau burung dan jangkrik tanpa terganggu notifikasi?

Di beberapa kampung di Jawa Timur, muncul gerakan Kampung Lali Gadget. Tempat anak-anak bermain gobak sodor dan layang-layang, sementara orang tua kembali belajar berbicara dari hati ke hati. Mereka belajar hadir, utuh, sebagai manusia.

Kita bisa memulai dengan cara sederhana: mematikan notifikasi, memberi waktu tanpa layar, menanam pohon di halaman. Atau sekadar menatap langit malam dan membiarkan hening berbicara.

Otak, seperti tubuh dan jiwa, juga berhak beristirahat. Sebab di balik sunyi yang kita hindari, mungkin muncul percakapan yang paling kita rindukan, dialog dengan diri sendiri, yang lama tenggelam dalam derasnya guliran layar tanpa ujung.

References
American Psychological Association. (2022). Digital media use and cognitive functioning: Understanding the impact of screen time on executive control. Washington, DC: APA Publishing.
Alter, A. (2017). Irresistible: The rise of addictive technology and the business of keeping us hooked. New York, NY: Penguin Press.
Carr, N. (2010). The shallows: What the internet is doing to our brains. New York, NY: W. W. Norton & Company.
Harris, T. (2021). Center for Humane Technology reports on the social impact of algorithmic design. San Francisco, CA: Center for Humane Technology.
Levitin, D. J. (2015). The organized mind: Thinking straight in the age of information overload. New York, NY: Dutton.
Litbang Kompas. (2022). Survei nasional: Dampak paparan layar terhadap pola tidur dan kesehatan mental di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Harian Kompas.
Small, G., & Vorgan, G. (2008). iBrain: Surviving the technological alteration of the modern mind. New York, NY: HarperCollins.
Sosiologi Digital Indonesia. (2023). Gerakan Kampung Lali Gadget: Membangun kembali interaksi sosial di era digital. Surabaya, Indonesia: Jurnal Sosial & Budaya.
Twenge, J. M. (2019). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy—and completely unprepared for adulthood. New York, NY: Atria Books.
World Health Organization. (2021). Guidelines on physical activity, sedentary behaviour, and sleep for children under 5 years of age. Geneva, Switzerland: WHO.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top