Mereka Tak Mau Mendengar?

Shared tulisan

Kritik bukan musuh. Tapi di negeri ini, kritik sering diperlakukan seperti ancaman. Padahal tak semua suara rakyat hendak menggulingkan kekuasaan. Banyak yang hanya ingin satu hal: didengar.

Tapi mengapa pejabat kita, baik di birokrasi maupun di korporasi suka menutup telinga?
Mereka tentu tidak tuli. Hanya pura-pura tuli demi menjaga ilusi kekuasaan.

Psikologi Kekuasaan: Kuasa yang Mematikan Empati

Kekuasaan itu memabukkan. Dan lebih dari itu, ia bisa mengubah cara kerja otak. Penelitian Keltner dkk. (2006) membuktikan bahwa orang yang berkuasa mengalami penurunan empati. Ia jadi tak peka terhadap ekspresi wajah, emosi, apalagi kritik.

Fenomena ini disebut power paradox: semakin tinggi jabatan seseorang, semakin tumpul kepekaan sosialnya. Bukan karena ia jahat. Tapi karena kekuasaan membuatnya merasa cukup tahu, cukup benar, dan cukup berhak untuk tidak mendengar.

Sejarah: Warisan Rezim yang Tak Pernah Mau Dialog

Kita mewarisi sistem kekuasaan dari dua penjajah: kolonialisme dan otoritarianisme. Keduanya punya kesamaan: anti kritik.

Dalam sistem ini, pejabat bukan dilatih untuk mendengar, tapi untuk mengatur. Mereka tak dibiasakan menerima masukan, tapi terbiasa mencari-cari kesalahan.

Birokrasi kita tumbuh dari akar yang salah: hierarki kaku, bukan partisipasi sehat. Maka jangan heran jika rapat-rapat kita lebih sibuk membungkam suara ketimbang membuka ruang dengar.

Neurosains Sosial: Kritik yang Terasa Seperti Ancaman

Otak manusia punya mekanisme bertahan. Kritik, meski benar, sering diterima sebagai serangan terhadap harga diri. Penelitian Lieberman & Eisenberger (2004) menunjukkan bahwa kritik bisa memicu area otak yang sama seperti rasa sakit fisik, apalagi jika disampaikan di depan umum atau tanpa empati.

Inilah sebabnya banyak pejabat lebih reaktif daripada reflektif. Mereka tak menolak karena isi kritiknya salah. Mereka menolak karena egonya keburu panik dan segera menyerang balik.

Siklus Sosial: Ketika Rakyat Bungkam, Penguasa Makin Arogan

Lama-lama rakyat jadi malas bicara. Rakyat tahu mereka tak akan didengar. Dan ketika suara rakyat sirna, pejabat merasa makin tak perlu mendengar. Lahirlah skeptisisme massal: โ€œSemua juga tahu salahnya di mana, tapi buat apa ngomong?โ€

Diam menjadi budaya. Bisu menjadi norma. Dan celakanya: dari situ lahirlah bangsa yang berjalan tanpa arah, karena kompasnya rusak dan petanya dibuang.

Penutup:

Bangsa ini tak akan runtuh karena suara yang bising. Tapi pasti hancur pelan-pelan karena senyap yang disengaja.

Kita butuh pejabat yang punya nyali membuka ruang dialog. Bukan sekadar ruang aduan yang tak pernah direspons.

Kita butuh pemimpin yang tak kehilangan pendengaran hanya karena naik jabatan.
Dan kita butuh rakyat yang sadar: bahwa diam tak akan menyelamatkan siapa pun.

โ€œIng ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.โ€

Pemimpin yang sejati adalah yang memberi teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan mendorong dari belakang.

โ€œSetiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.โ€
(HR. Bukhari-Muslim)

Semua bisa dimulai dari satu hal paling mendasar:

Belajar mendengar.

Bukan sekadar mendengar suara, tapi mendengar dengan hati dan niat untuk berubah.

Kadang, cinta paling tulus pada bangsa ini justru datang lewat kritik yang tajam, bukan pujian yang palsu.

ditulis dengan bantuan AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top