Mata: Menatap Dunia, Menyadari ke dalam Diri

Shared tulisan

Kita bisa berbohong dengan mulut, tapi tidak dengan mata.

Mata hanya seukuran buah anggur, tapi mampu menyuarakan cinta, menyimpan luka, dan memantulkan cahaya hati.

Di balik retina, saraf optik, dan pupil yang melebar saat jatuh hati, tersembunyi sistem biologis yang canggih. Iris, bagian mata berwarna yang mengatur cahaya masuk menyimpan keunikan seperti sidik jari. Tak ada dua yang sama.

Menakjubkan, Al-Qur’an menyentuhnya dengan sebuah pertanyaan:

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata?” (QS Al-Balad: 8)

Pertanyaan. Bukan pernyataan.
Seolah Allah sedang mengajak kita merenung:
“Sudahkah kau gunakan mata itu dengan benar?”

Bukan sekadar untuk melihat. Tapi untuk memahami. Untuk menilai dengan jernih. Menangkap makna, bukan hanya bentuk.
Al-Qur’an menegaskan:

“Bukan mata itu yang buta, tapi hati yang di dalam dada.” (QS Al-Hajj: 46)

Dalam tradisi spiritual, mata adalah cermin jiwa. Ia bukan sekadar menangkap cahaya dari luar, tapi memantulkan cahaya dari dalam.

Dalam kearifan Nusantara, mata tak sekadar jendela penglihatan, tapi juga jendela kebijaksanaan.

Leluhur Sunda menggambarkan keadaan batin yang damai dengan kata:

“Tiis ceuli, herang mata.”

Artinya telinga terasa sejuk dan mata tampak bening. Tanda hati yang tak pernah didera oleh kegelisahan atau kerisauan. Dalam kesejukan indera itu, jiwa menemukan ketenangan karena tak terganggu oleh bisik provokasi maupun kilau dunia yang menipu.

Falsafah Jawa menambahkan:

“Tilik mata, rasa ing ati.” Lihat dengan mata, rasakan dengan hati. Karena tak semua yang tampak itu seperti adanya. Maka datanglah petuah:
“Ojo mung ndelok njaba.”

Jangan hanya menilai dari yang tampak di luar.

Dari Ranah Minang datang pula petuah:

“Indak samo pandangan mato jo pandangan hati.”
Karena mata bisa keliru menangkap rupa, tapi hati yang bening tak mudah dibohongi.

Maka jangan lekas percaya pada yang tampak. “Nan tampak indak sakato, nan sabana dalam kaciak.” Yang terlihat belum tentu utuh.

Kebenaran kadang justru tersembunyi dalam hal-hal kecil. Dalam ketulusan yang tak bersuara. Sering kali yang buta bukan penglihatan, tapi nurani yang tak mau jujur menatap diri sendiri.

Neurosains membuktikan: mata adalah bagian dari otak yang menjorok keluar. Saraf optik membawa jutaan sinyal tiap detik, mengubah cahaya menjadi makna (Purves et al., 2012). Lebih dari itu, ia terhubung langsung ke sistem limbik, pusat emosi dan intuisi.

Tak heran jika satu tatapan bisa mengguncang jiwa. Para ilmuwan menyebutnya emotional gaze. Tatapan yang bisa memeluk dari jauh, menyayat tanpa suara, mengantar cinta dalam satu detik (Emery, 2000).

Benang merah dari semua petuah leluhur di atas adalah:
jangan cepat menilai, jangan tergesa bereaksi. Lihatlah dunia dengan mata yang jernih.
Dengarkan dengan telinga yang sejuk. Rasakan kebenaran dengan hati yang bening

Tapi kini, di era digital ini, mata kita kelelahan menatap layar, bukan langit. Kita scroll tanpa henti. Membaca cepat, tapi lupa merenung. Kita terbiasa melihat, tapi jarang benar-benar menatap.

Kita lupa menatap wajah anak sendiri. Lupa menatap diri di cermin batin.
Kita tahu wajah semua selebritas, tapi lupa mengingat wajah ibu yang kian renta.

Ironisnya, makin sering mata menilai ke luar, makin tumpul perhatian kita ke dalam. Kita pandai membandingkan, tapi tak biasa lagi bertanya:
“Apa yang sebenarnya sedang kucari?”

Mata bisa merekam, tapi juga bisa membocorkan. Ia tak bisa berpura-pura teduh saat marah. Tak bisa menutupi cinta. Tak bisa menyembunyikan luka.

Jika ingin tahu siapa yang jujur, lihatlah matanya. Jika ingin tahu siapa diri kita, tataplah mata sendiri di cermin. Bukan wajah. Tapi mata.

Dan lihatlah, Masihkah mata kita menyala penuh semangat?

ditulis dengan bantuan AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top