
Dari seribu anak muda Indonesia, hanya satu yang benar-benar suka membaca. Bukan sekadar bisa membaca, tapi ingin membaca. Data dari UNDP (2025) ini bukan sekadar angka, tapi alarm keras bagi masa depan bangsa.
Kita sudah membangun sekolah, menyebar buku, bahkan membagikan gawai. Tapi gagal menumbuhkan cinta pada ilmu. Literasi kita sekadar kemampuan mengeja, bukan kebiasaan berpikir.
Di ruang kelas, buku hanya dibuka karena disuruh. Anak-anak membaca karena wajib, bukan karena haus membaca. Ketika bel berbunyi, buku ditinggalkan, gawai disambar. Mereka lebih terlatih menelusuri video pendek daripada menekuni satu paragraf panjang.
Inilah yang disebut literasi fungsional rendah. Kita bisa mengakses informasi, tapi tak mampu memilahnya. Kita tahu huruf, tapi tak memahami makna. Kita menjadi sasaran empuk hoaks, karena tak terbiasa curiga, apalagi menyelidik.
Survei PISA (2018) yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun dalam memahami dan menerapkan pengetahuan di kehidupan nyata, menempatkan kemampuan membaca pelajar Indonesia di peringkat 72 dari 79 negara.
Bangsa yang berhenti membaca, berhenti bertanya. Dan bangsa yang tak bertanya, perlahan kehilangan arah. Kita sedang berjalan menuju masa depan dengan mata setengah tertutup. Di balik gemerlap teknologi dan jargon industri 4.0, tumbuh generasi yang mahir scroll tapi miskin kedalaman. Terampil swipe, tapi goyah menghadapi tantangan.
Ini bukan salah anak-anak kita. Ini salah kita, orang tua, sekolah, dan sistem yang membiarkan otak tumbuh dalam budaya instan. Kita tak mewariskan rumah yang penuh buku. Sekolah kita tidak merangsang rasa ingin tahu. Dan masyarakat kita lebih memuja sensasi daripada ilmu.
Neurosains membuktikan: membaca mendalam membentuk ulang struktur otak. Ia memperkuat korteks prefrontal, pusat empati, atensi, dan pemikiran abstrak (Wolf, 2018; Small, 2020).
Aktivitas membaca memperkuat konektivitas antar bagian otak yang bertanggung jawab atas pemahaman kompleks dan pengambilan keputusan jangka panjang.
Sebaliknya, scrolling cepat dan dangkal justru merusak. Penelitian Maryanne Wolf (UCLA) menemukan bahwa kebiasaan membaca digital yang terburu-buru menurunkan kemampuan berpikir reflektif dan kritis.
Jalur saraf yang bertanggung jawab atas kontemplasi menjadi lemah karena otak terbiasa berpindah tanpa kedalaman.
Anak-anak kehilangan fokus, menurun empatinya, mudah stres, dan mengalami disregulasi emosi karena sistem limbik terus terpapar stimulus tanpa kendali dari korteks prefrontal (Radesky et al., 2020).
Saat kita berlomba memamerkan tablet di tangan anak-anak miskin, negara-negara maju justru melangkah mundur dengan sadar. Finlandia dan Swedia kini menghapus perangkat digital dari ruang kelas dan kembali ke buku cetak.
Mereka tahu: terlalu dini mengenalkan layar mengganggu perkembangan otak (OECD, 2023). Mereka memilih kata, kertas, dan ketekunan.
Di Finlandia dan Swedia, sekolah dasar menghapus perangkat digital dari ruang kelas dan kembali ke buku cetak. Pemerintah menyadari: terlalu dini mengenalkan layar justru merusak perkembangan otak anak (OECD, 2023).
Norwegia telah menyetop program digitalisasi sekolah dan kembali mewajibkan buku fisik di semua jenjang dasar.
Penelitian nasional mereka menunjukkan bahwa anak yang membaca buku cetak memiliki daya serap lebih tinggi dan ingatan lebih tahan lama daripada yang membaca dari layar. Belgia dan Jerman pun menyuarakan hal serupa. Kementerian pendidikan mereka menyatakan bahwa teknologi harus menjadi alat bantu, bukan pengganti proses belajar yang menyentuh nalar dan rasa.
Tak ada Google dalam ujian. Tak ada laptop dalam pelajaran membaca. Mereka kembali pada hal-hal yang esensial. Sementara kita sibuk mengejar kemasan, mereka menjaga substansi.
Maka mari kita tanya ulang: benarkah kita sedang mencerdaskan kehidupan bangsa? Atau hanya sedang menukar akal sehat anak-anak kita dengan kecanggihan semu?
Menyelamatkan bangsa bisa dimulai dari hal sederhana: sebuah buku di tangan, dan waktu tenang untuk membacanya.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI