Ketika Sistem Dirancang Gagal

Shared tulisan

Sudah delapan dekade kita merdeka. Tapi, cita-cita luhur kemerdekaan untuk melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum belum juga tercermin di kehidupan rakyat.

Yang kita lihat hari ini masih wajah muram yang sama. Kemiskinan structural dan kesenjangan makin melebar. Ketidakadilan hukum, dan ketimpangan ekonomi kian menganga. Beban rakyat justru semakin berat, seperti berjalan memanggul karung di pundak, sementara jalan terus menanjak.

Banyak teori mencoba menjelaskan kegagalan ini.

Ada yang menyalahkan faktor alam. Katanya kita berada di wilayah tropis lembab, penuh penyakit, rawan bencana. Ada yang menyalahkan budaya. Kita bangsa pemalas yang pasrah dan nyaman dengan status quo. Ada pula yang menunjuk rendahnya literasi dan minimnya rasa ingin tahu.

Bahkan, warisan kolonial sering dijadikan alasan abadi untuk stagnasi, seakan sejarah adalah borgol yang tak bisa dilepas.

Namun, semua teori itu runtuh di hadapan kenyataan.

Seperti dipaparkan Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail (2012), kemiskinan bukanlah takdir. Ia adalah produk dari institusi yang gagal. Dan sering kali sengaja dibuat gagal.

Bukan Letak, Bukan Budaya, Tapi Sistem

Jika geografi dan kekayaan alam menentukan kemiskinan, Singapura, negara mungil tanpa sumber daya alam, tak mungkin memiliki PDB per kapita lima belas kali lipat Indonesia. Jika budaya adalah biang kerok, bagaimana Korea Selatan melesat dari negara termiskin menjadi raksasa teknologi hanya dalam tiga dekade?

Masalah kita bukan posisi letak geografi, bukan pula mental.

Masalah kita adalah sistem. Sistem yang menutup akses rakyat kecil, tapi menggelar karpet merah bagi investor besar. Sistem yang mengejar angka ekspor, tapi mengabaikan keberlanjutan pangan dalam negeri.

Institusi yang Eksklusif, Negara yang Terjebak

Negara gagal adalah negara yang membiarkan institusinya dikuasai segelintir elite. Mereka merancang aturan untuk menghambat inovasi, menindas persaingan sehat, dan mematikan partisipasi rakyat.

Bukankah itu yang kita lihat hari ini?

Petani tak bisa bersaing karena kebijakan perdagangan lebih berpihak pada pasar global ketimbang pada keberlangsungan pangan nasional. Birokrasi menjadi ladang rente, bukan alat pelayanan. Koperasi rakyat dikerdilkan, konglomerat justru dipelihara.

Bukan karena kita tak tahu cara memperbaiki, tapi karena sistem ini memang tidak dirancang untuk berubah.

Mengapa Sistem Ini Bertahan?

Karena rakyat diam.

Karena kelas menengah sibuk menjaga zona nyamannya.

Karena kaum intelektual bungkam.

Karena mahasiswa kehilangan ruang kritis.

Kampus yang dulu bara kesadaran dan dapur pemikiran bangsa, kini jadi gedung megah yang sunyi dari keberanian.

Rektor lebih sibuk menjaga relasi kekuasaan ketimbang menjaga akal sehat.

Dewan guru besar bersembunyi di balik gelar dan seminar, mengabaikan suara nurani akademik.

Maka lahirlah generasi yang terdidik secara teknis tapi tumpul secara etis. Mahir mengoperasikan sistem, tapi tak pernah bertanya: siapa yang diuntungkan dari sistem ini? Pandai membuat proposal dan presentasi, tapi gagap membaca realitas rakyat di luar layar laptopnya.

Pendidikan yang Kehilangan Ruh

Pendidikan telah dipreteli menjadi sekadar jalur mobilitas sosial. Ia bukan lagi ruang pembentukan karakter dan keberanian moral.

Lebih parah karena pemerintah mulai memandang gaji guru dan dosen sebagai beban yang harus ditanggung bersama rakyat. Seolah lupa bahwa mereka hidup dari pajak rakyat dan mengelola kekayaan bangsa.

Cara pandang ini keliru dan berbahaya. Ia menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan hak rakyat. Sebagai biaya, bukan investasi peradaban.

Tak heran, lahirlah generasi yang hanya mahir mengikuti perintah namun enggan menggugat ketidakadilan.

Generasi yang bangga menjadi alat, tapi lupa menjadi manusia.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top