
Beberapa waktu terakhir, jalanan kembali dipenuhi suara rakyat. Dari depan gedung DPR hingga simpang kota, terdengar teriakan: “Bubarkan DPR!” dan “Partai telah mengkhianati rakyat!”.
Gelombang protes ini mencerminkan kekecewaan panjang terhadap partai politik yang kian jauh dari fungsinya. Alih-alih menjadi penyalur aspirasi, parlemen terlihat sibuk dengan bagi-bagi kursi, dinasti, dan rente, sementara kesejahteraan rakyat terabaikan.
Secara teori, partai politik adalah rumah rakyat: ruang untuk mengorganisir aspirasi dan memperjuangkannya kepentingan rakyat di panggung kekuasaan.
Ironis karena kini, partai justru berubah menjadi Perusahaan Milik Sekelompok orang, atau bahkan Perusahaan Keluarga. Partai kini menjadi penggerak dan mesin oligarki.
Pertanyaannya: masih relevankah partai politik sebagai saluran kedaulatan rakyat?
Sejarah Lahirnya Partai Politik
Partai politik tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari pergulatan filsafat dan sejarah. Di Eropa abad ke-17, ketika parlemen mulai berkembang di Inggris, muncullah dua kubu besar: Whigs dan Tories. Inilah cikal bakal partai politik modern.
John Locke (1632–1704) dengan Two Treatises of Government menekankan bahwa kekuasaan harus mendapat legitimasi dari rakyat melalui kontrak sosial.
Montesquieu (1689–1755) dengan The Spirit of Laws memperkenalkan gagasan trias politika agar kekuasaan tidak terpusat.
Rousseau (1712–1778) dengan The Social Contract menekankan pentingnya volonté générale atau kehendak umum. Dari sinilah partai menjadi wadah rakyat mengorganisir kehendak kolektifnya.
Partai dan Demokrasi Liberal
Memasuki abad ke-19, Revolusi Industri dan Revolusi Prancis memperluas hak pilih. Partai buruh seperti Labour Party di Inggris lahir sebagai respon kelas pekerja terhadap kapitalisme.
Sementara itu, partai liberal dan konservatif mewakili kepentingan kelas menengah dan elite. Secara teoritis, demokrasi liberal modern adalah persekutuan antara rakyat dan partai: rakyat memilih, partai menyuarakan (Lipset, Political Man, 1960).
Demokrasi sebagai Ekspor
Pasca Perang Dunia II, demokrasi dipromosikan Amerika Serikat dan Barat ke dunia ketiga. Banyak negara baru merdeka dipaksa mengadopsi sistem multipartai. Namun hasilnya tidak selalu baik.
Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) menyebut partai di negara berkembang sering jadi sumber instabilitas karena kelembagaannya rapuh. Alih-alih membawa kesejahteraan, demokrasi ala Barat kadang malah membuka ruang konflik etnis, politik uang, bahkan kudeta militer.
Partai Politik di Indonesia
Indonesia mengenal embrio partai sejak masa pergerakan nasional: Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), dan PNI (1927). Pasca kemerdekaan, sistem multipartai berkembang pesat, tapi sering jatuh pada politik aliran.
Sukarno kemudian menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin (1959), menyingkirkan partai sebagai pengambil keputusan. Orde Baru (1966–1998) melanjutkan penjinakan partai lewat fusi (PPP, PDI, Golkar).
Pasca Reformasi 1998,
Multipartai hidup kembali, tapi kini lebih banyak berbasis keluarga: PDIP dengan trah Soekarno, Demokrat dengan SBY, PAN dengan Amien Rais, Gerindra dengan Prabowo.
Terkahir dengan berbagai cara Jokowi mencoba membuat PSI menjadi Partai milik keluarganya. Demokrasi kita pun berubah menjadi demokrasi dinasti.
Apakah Ini Demokrasi?
Jika demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (Lincoln, 1863), maka apa yang kita jalani kini lebih tepat disebut plutokrasi: pemerintahan oleh segelintir elite berduit untuk kepentingan mereka sendiri (Dahl, Polyarchy, 1971).
Partai-partai kehilangan fungsi edukasi politik dan kaderisasi. Mereka berubah menjadi perusahaan keluarga, tempat distribusi rente, dan mesin dinasti.
Contoh Sukses Demokrasi
Namun tidak semua negara gagal. Ada contoh sukses: Skandinavia (Norwegia, Swedia, Denmark) dengan budaya egalitarian, transparansi, dan kesejahteraan sosial. Taiwan berhasil menggabungkan demokrasi dengan partisipasi digital (vTaiwan). India, meski penuh tantangan, tetap menjadi demokrasi elektoral terbesar di dunia.
Kuncinya ada pada: rule of law yang kuat, partai dengan kaderisasi sehat, keterlibatan rakyat, dan kontrol masyarakat sipil (Lijphart, Patterns of Democracy, 1999).
Alternatif Pengganti Partai Politik
Bila rakyat benar-benar muak, ada beberapa jalan keluar:
- Majelis Rakyat Independen. Anggota dipilih lewat komunitas, profesi, dan wilayah, bukan partai.
- Koperasi Politik. Seperti koperasi ekonomi, tetapi untuk politik; rakyat menjadi pemilik institusi politik.
- Demokrasi Partisipatif Digital. Seperti di Estonia dan Taiwan, rakyat ikut langsung dalam pengambilan kebijakan.
- Perluasan Calon Independen . Tidak hanya untuk pilkada, tapi juga kursi legislatif.
Penutup
Kita perlu jujur: partai di Indonesia kini sudah menjauh dari rakyat. Mereka hanya menjadi menara gading keluarga dan oligarki. Jika demokrasi hanya jadi panggung sandiwara, rakyat berhak menutup tirai dan membuka panggung baru.
Demokrasi bukan soal bendera partai, melainkan soal keberanian rakyat menjaga kedaulatan.
Membongkar sistem kepartaian yang bobrok bukan pengkhianatan terhadap demokrasi, justru itulah langkah untuk mengembalikannya pada makna sejati: kedaulatan di tangan rakyat.
ditulis dengan bantuan AI