Ketika Budaya Jadi Jalan, Bukan Jebakan

Shared tulisan

Apa yang membuat sebuah bangsa kuat atau lemah?
Jawaban klasiknya: ekonomi.
Jawaban yang lebih dalam: budayanya.

Menurut riset oleh Geert Hofstede, Masyarakat Indonesia memiliki skor Power Distance yang sangat tinggi (78). Artinya, kita terbiasa menerima ketimpangan kekuasaan. Atasan dianggap tak bisa salah. Pemimpin ditempatkan jauh di atas rakyat. Hierarki bukan untuk dipertanyakan. Tapi untuk ditaati. Masyarakat kita nyaris tak mengeluh soal itu. Sejak kecil, kita dibentuk untuk tunduk dan diam.

Bukan hanya itu. Nilai skor sifat Individualisme kita sangat rendah (hanya 14). Masyarakat kita sangat kolektif. Artinya, ikatan sosial kita kuat, tapi ini kadang menjerat. Kita lebih peduli pada kelompok daripada kebenaran. Sekilas terdengar indah gotong royong, kebersamaan dan harmoni. Tapi dalam kenyataannya, itu bisa membuat kita takut berbeda. Takut bertanya, dan takut menyuarakan kebenaran bila itu bisa mengganggu “ketenangan”.

Maka jangan heran jika dalam sistem seperti ini, oligarki tumbuh subur. Dalam masyarakat dengan hierarki tinggi dan budaya diam, kekuasaan mudah terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Mereka cukup memelihara budaya tunduk dan kepatuhan kolektif. Lalu kekuasaan bisa diwariskan dari satu generasi pemilik modal ke generasi berikutnya. Tidak ada yang bertanya, karena bertanya bisa dianggap membangkang.

Fenomena itu terlihat jelas di panggung politik kita. Dari Megawati ke Puan Maharani, dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Agus Harimurti. Dan jelas sekali yang kita saksikan kini dari Jokowi ke Gibran. Pola pewarisan kekuasaan menjadi semakin terbuka. Nama berubah, wajah berganti, tapi jaring kuasa tetap di lingkar yang sama. Ironisnya, banyak rakyat justru menganggap hal itu wajar, seolah kursi kekuasaan memang bisa diwariskan layaknya pusaka keluarga.

Inilah cerminan budaya yang kita warisi: tunduk, manut, dan mudah memaafkan ketimpangan. Padahal, di situlah akar persoalan bangsa kita, ketika rakyat berhenti bertanya, maka kekuasaan berhenti diadili.

Kini, kita sedang melihat akibatnya: Ketika hukum bisa ditawar, ketika wakil rakyat justru bersekongkol dengan kepentingan korporasi, ketika pejabat publik memelintir amanah menjadi alat pemuas kerakusan.

Rakyat kecil disuruh sabar, sementara penguasa berpesta di atas penderitaan mereka.
Dari skandal korupsi, pelemahan lembaga antirasuah, hingga perampasan ruang hidup atas nama “pembangunan”. Semuanya berpangkal pada satu penyakit yang sama: budaya diam yang diwariskan dan dibudidayakan.

Namun budaya bukan kutukan. Budaya adalah jalan dan bisa kita arahkan ulang.

Masyarakat yang kolektif bisa menjadi kekuatan dahsyat bila diarahkan untuk gotong royong yang sejati: membangun lembaga rakyat, koperasi, komunitas solidaritas, dan ruang-ruang dialog. Budaya hormat kepada pemimpin bisa kita ubah menjadi budaya tanggung jawab kolektif. Pemimpin bukan hanya dihormati, tapi juga diawasi dan dituntut untuk melayani. Budaya menahan diri bisa menjadi kedisiplinan sosial, bila rakyat punya suara dan ruang untuk berpartisipasi.

Diam bukan lagi pilihan. Bersuara adalah kewajiban.

Dan hari ini, di tengah gelapnya moral publik, kita mulai melihat nyala kecil keberanian itu.
Dari mahasiswa yang turun ke jalan menolak kebijakan semena-mena. Dari jurnalis independen yang tetap menulis meski diancam. Dari warga yang bertahan melawan penggusuran di tanah mereka sendiri. Dari komunitas literasi, teater, dan diskusi kecil yang menolak dibungkam oleh politik uang dan propaganda. Dan yang menggembirakan, dari seorang Mentri yang berani mengemukakan fakta dari segala penyebab keruwtan bangsa selama ini.

Mereka semua sedang menulis bab baru dalam sejarah bangsa ini. Bab di mana diam bukan lagi emas, tapi racun. Keberanian mereka, sekecil apa pun, adalah tanda bahwa budaya sadar mulai hidup kembali. Karena bangsa yang kuat bukan yang paling kaya atau paling sibuk berinovasi, melainkan yang paling berani berpikir, bertanya, dan memperbaiki dirinya sendiri.

Maka mari kita renungkan:
Apakah kita masih ingin melanjutkan budaya tunduk yang nyaman tapi mematikan?
Atau, kita mulai berani melangkah menuju budaya sadar, yang mungkin lambat, tapi membebaskan?

Referensi

  1. Geert Hofstede (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. Online Readings in Psychology and Culture, 2(1).

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top