Ibnu Sina dan Kekuatan Penyembuhan Tubuh

Shared tulisan

Kedokteran modern hari ini sering kali tampak terjebak dalam pusaran kapitalisme obat. Pasien dipandang sebagai konsumen, penyakit menjadi komoditas, dan tubuh dijadikan pasar. Banyak terapi berorientasi pada resep farmasi, sementara perhatian pada pencegahan dan kekuatan alami tubuh untuk sembuh sendiri semakin terpinggirkan.

Seribu tahun lalu, seorang filsuf Islam telah mengingatkan: tugas dokter bukan untuk menjual obat, melainkan membantu pasien agar tubuhnya bisa memulihkan dirinya sendiri. Dialah Ibnu Sina.

Ibnu Sina, atau Avicenna dalam tradisi Barat, adalah tokoh besar abad ke-10. Ia dikenal sebagai filsuf, ilmuwan, sekaligus bapak kedokteran modern. Karyanya Al-Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine) menjadi rujukan utama di universitas Eropa hingga abad ke-17.

Ibnu Sina menulis bukan hanya tentang tubuh dan penyakit, tetapi juga tentang jiwa, akal, dan hubungan keduanya. Pandangan filsafat dan kedokterannya membentuk kesatuan utuh: manusia adalah ciptaan yang jasmani dan ruhani, fisik dan spiritual, logis dan etis.

Ia menulis: “The physician strengthens nature and assists it in its work; he does not oppose it.” Inilah esensi peran tabib sejati: membantu alam dalam diri manusia untuk menyeimbangkan dirinya sendiri.

Ibnu Sina tumbuh dalam semangat Islam yang menempatkan ilmu sebagai ibadah. Perintah pertama Al-Qur’an, Iqra’, bacalah (QS. Al-‘Alaq [96]:1) , menjadi fondasi dahaganya terhadap pengetahuan. Konsep mizan (keseimbangan) dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Rahman [55]:7–9) ia terjemahkan dalam dunia medis sebagai harmoni tubuh dan jiwa.

Dalam kerangka syariah, menjaga kesehatan jiwa (hifz al-nafs) adalah amanah. Tubuh manusia bukan sekadar daging dan darah; ia mengandung kebijaksanaan Ilahi. Kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri bila keseimbangannya dijaga.

Bagi Ibnu Sina, tubuh manusia memiliki mekanisme alami untuk menyembuhkan diri. Dokter berperan sebagai pendamping yang menjaga keseimbangan dan memberi kondisi agar tubuh bekerja dengan baik.

Inilah yang kini dikenal sebagai vis medicatrix naturae, kekuatan penyembuhan alamiah. Ia menekankan pentingnya gaya hidup: makanan yang baik, tidur yang cukup, pikiran yang tenang, dan lingkungan yang sehat. Obat hanya digunakan bila benar-benar diperlukan.

Ironisnya, dunia medis kini banyak melupakan prinsip itu. Industri farmasi tumbuh menjadi raksasa yang memengaruhi arah penelitian, pendidikan kedokteran, dan kebijakan kesehatan. Pasien sering terjebak dalam ketergantungan obat jangka panjang.

Padahal perubahan gaya hidup sering kali lebih efektif. Tubuh, yang oleh Ibnu Sina dipandang sebagai ciptaan penuh hikmah, kini sering dianggap mesin yang perlu terus ditambal dengan pil.

Ilmu modern justru sedang membuktikan intuisi Ibnu Sina. Ilmu imunologi menunjukkan betapa luar biasanya sistem pertahanan tubuh (Janeway et al., 2022). Epigenetika membuktikan bahwa gaya hidup dan lingkungan dapat mengaktifkan atau menonaktifkan gen (Bird, 2007).

Neurosains mengungkap kapasitas neuroplastisitas , kemampuan otak membangun ulang dirinya (Doidge, 2007). Semua ini beresonansi dengan pandangan Ibnu Sina tentang kekuatan penyembuhan tubuh.

Relevansi pemikiran Ibnu Sina hari ini begitu jelas. Kita membutuhkan kedokteran yang kembali memuliakan tubuh, bukan memperbudaknya. Kedokteran yang mengembalikan manusia pada keseimbangan, bukan sekadar menutup gejala dengan resep.

Ibnu Sina mengingatkan bahwa tubuh manusia adalah kitab hidup; di dalamnya ada tanda-tanda kebesaran Ilahi. Tubuh yang dijaga keseimbangannya akan memunculkan kesehatan. Tugas dokter, sebagaimana ia tulis seribu tahun lalu, adalah membantu pasien menemukan kembali harmoni itu.

Tubuh yang diciptakan Tuhan membawa rahasia penyembuhan dalam dirinya sendiri. Yang kita perlukan hanyalah mendengarkannya kembali.

Referensi

  1. Avicenna (Ibn Sina). The Canon of Medicine. Trans. L. Bakhtiar. Great Books of the Islamic World, 2012.
  2. Illich, I. (1975). Medical Nemesis: The Expropriation of Health. New York: Pantheon.
  3. Moynihan, R. et al. (2002). “Selling sickness: The pharmaceutical industry and disease mongering.” BMJ, 324(7342): 886–891.
  4. Bird, A. (2007). “Perceptions of epigenetics.” Nature, 447(7143): 396–398.
  5. Doidge, N. (2007). The Brain That Changes Itself. Penguin.
  6. Janeway, C. A. et al. (2022). Immunobiology, 9th ed. Garland Science.
  7. Al-Qur’an, QS. Ar-Rahman [55]:7–9; QS. Al-‘Alaq [96]:1.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top