
Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada penghujung 2025 telah berubah menjadi tragedi kemanusiaan besar. Menurut BNPB, sedikitnya 836 orang tewas. Ratusan masih hilang. Lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak. Lebih dari 1 juta orang terpaksa mengungsi. Desa hancur. Rumah hanyut. Jembatan putus. Jutaan warga hidup dalam ketidakpastian tanpa makanan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak. Ini bukan bencana lokal. Ini krisis nasional dalam ukuran moral dan kemanusiaan.
Sumber Masalah: Kegagalan Politik dan Kerusakan Lingkungan
Bencana ini bukan hanya akibat cuaca ekstrem. BMKG mencatat peningkatan curah hujan akibat perubahan iklim. Namun kerusakan bentang alam membuat dampaknya jauh lebih parah. Data KLHK menunjukkan lonjakan tajam laju deforestasi tahunan di tiga provinsi terdampak. Di Aceh, laju kehilangan hutan meningkat dari 1.918 hektare per tahun pada 2019–2020 menjadi 10.100 hektare per tahun pada 2024–2025, naik lebih dari lima kali lipat. Di Sumatera Utara, lajunya naik dari 1.233 hektare pada 2019–2020 menjadi 6.142 hektare per tahun pada 2024–2025. Sementara itu, Sumatera Barat mengalami kenaikan paling drastis dari 774 hektare per tahun pada 2019–2020 menjadi 5.705 hektare per tahun pada 2024–2025. Kenaikan ini menunjukkan percepatan deforestasi yang sangat tidak wajar dalam lima tahun terakhir.
Lonjakan serempak ini memberi tekanan besar pada kawasan hulu. Ketika izin pembukaan lahan diberikan tanpa kendali, hutan hilang dan tanah kehilangan daya serap air. Penebangan liar ikut meningkat. Warga meniru pemerintah yang terlalu mudah memberi konsesi. Ketika hulu digunduli untuk tambang, perkebunan, dan berbagai konsesi, lereng kehilangan penyangga. Saat hujan ekstrem datang, banjir bandang dan longsor menjadi keniscayaan. Ini bukan semata musibah. Ini konsekuensi dari kebijakan yang membiarkan kerusakan ekosistem demi keuntungan jangka pendek.
Respons Pemerintah yang Dingin dan Hilangnya Kepercayaan
Di tengah penderitaan yang nyata, respons pemerintah pusat terasa dingin. Pejabat tinggi negara menyatakan status bencana nasional belum diperlukan. Seolah label itu hanya urusan administratif, bukan kunci koordinasi dan percepatan bantuan. Kepala BNPB bahkan menyebut situasinya lebih mencekam di media sosial daripada di lapangan. Pernyataan yang meremehkan korban yang masih mencari keluarga mereka.
Sementara itu, masyarakat bergerak cepat. Relawan lokal turun tanpa menunggu instruksi. Komunitas internasional bahkan melangkah lebih dulu. PBB segera menyatakan kesiapan membantu wilayah yang paling terdampak. Seruan ini datang cepat. Begitu cepat sampai perhatian dunia terasa lebih hadir daripada respons pemerintah sendiri.
Akar Masalah: Sistem Kepartaian dan Pemilu yang Tersandera
Lambatnya respons pemerintah tidak berdiri sendiri. Masalahnya berakar pada sistem kepartaian. Kekuasaan tumbuh dari negosiasi politik dan patronase, bukan dari kedekatan dengan rakyat. Banyak pejabat lebih loyal kepada partai daripada kepada publik. Sebagian anggota DPR tampak kehilangan empati. Biaya politik yang tinggi membuat mereka bergantung pada sponsor. Kebijakan pun mudah dibelokkan oleh kepentingan sempit.
Dalam bencana, dampaknya telanjang. Wibawa politik lebih dipertahankan daripada keselamatan warga. Empati berubah menjadi simbol, bukan tindakan.
Krisis Moral: Gagal Memahami Tanggung Jawab Negara
Bencana Sumatra menunjukkan dua hal sekaligus: kapasitas negara dan karakter negara. Kapasitas bisa terbatas oleh infrastruktur atau sumber daya. Namun karakter negara semestinya tidak terbatas. Ia diukur dari empati, keberanian mengambil keputusan, dan kehadiran moral di tengah penderitaan.
Ketika empati hilang, kegagalan itu lebih dalam daripada salah urus teknis. Ini kegagalan imajinasi moral. Negara tidak lagi memahami apa yang menjadi tanggung jawab dasarnya.
Acemoglu dan Robinson menjelaskan bahwa negara yang dikuasai elit saling menopang cenderung gagal memenuhi kebutuhan rakyat. Negara seperti ini bersifat ekstraktif. Ia mengambil manfaat dari rakyat, tetapi tidak hadir saat rakyat membutuhkan. Weber mengingatkan bahwa birokrasi modern hanya berjalan baik jika dikelola profesional. Bukan oleh aktor politik yang tersandera kepentingan kelompoknya.
Bencana Sumatra menjadi cermin. Struktur pemerintahan kita belum menemukan jiwanya sebagai pelayan publik.
Seruan untuk Perubahan: Mendesak Munculnya Kepemimpinan Moral
Yang paling menyedihkan adalah hilangnya sensitivitas moral para pemimpin. Ketika ratusan jenazah belum ditemukan, ketika ribuan keluarga kehilangan orang yang mereka cintai, ketika pengungsi berebut air bersih dan makanan, pemerintah justru sibuk menjelaskan status administratif. Seolah penderitaan warga adalah persoalan teknis.
Negara tidak boleh seperti itu. Pemerintah harus memiliki hati yang peka. Empati bukan aksesori. Ia fondasi legitimasi kekuasaan. Tanpanya, negara kehilangan wajah manusia. Tanpa keberpihakan, pemerintah kehilangan makna. Tanpa keberanian moral, Indonesia menjadi negara yang hadir di upacara, tetapi absen ketika rakyat tenggelam.
Bencana Sumatra harus menjadi panggilan kebangkitan. Ini bukan soal satu pejabat, satu kementerian, atau satu keputusan. Ini soal struktur pemerintahan yang harus kembali kepada fitrahnya: melayani rakyat dengan hati. Jika negara tidak belajar dari tragedi ini, rakyat akan terus menjadi korban. Dan masa depan Indonesia akan ikut tergerus.
Peran Akademisi: Menjadi Gerbang Etika Bangsa
Saatnya rakyat mendesak perubahan. Akademisi, intelektual, dan pemimpin moral harus berdiri di depan. Kita tidak boleh diam melihat negara terpuruk. Kita harus mengangkat suara. Menjadi kompas moral bangsa. Memastikan mereka yang berkuasa memikul tanggung jawabnya.
Taruhannya terlalu besar. Waktu untuk bertindak adalah sekarang. Integritas negara bergantung pada kita semua.
Agus Somamihardja, Pemerhati Ekologi Manusia. Alumni IPB dan Asian Institute of Technology, Bangkok Thailand.