Silent Spring: Menghidupkan Kembali Suara Alam

Shared tulisan

Ketika Rachel Carson menerbitkan Silent Spring pada tahun 1962, ia tidak sedang menulis buku hiburan. Ia sedang membunyikan alarm. Dalam bukunya, Carson memperingatkan bahwa pestisida sintetis seperti DDT yang digunakan secara massal telah mencemari tanah, air, dan udara, menembus rantai makanan, dan akhirnya masuk ke tubuh manusia. Ia menunjukkan bahwa peradaban modern sedang menabur racun atas nama kemajuan.

Enam puluh tahun kemudian, isi peringatan itu terasa sangat dekat dengan kondisi Indonesia. Negeri yang kaya sumber daya alam justru berada di garis depan krisis ekologis. Sungai-sungai utama di Jawa dan Sumatera tercemar limbah industri dan pertanian; deforestasi di Kalimantan dan Papua terus menggerus keanekaragaman hayati; dan setiap musim kemarau, kabut asap akibat pembakaran lahan menjadi ancaman rutin.

Semua ini memperlihatkan bahwa kita masih mengulang pola yang dikritik Carson: mengendalikan alam dengan kekerasan teknologi tanpa menghormati keseimbangannya.

Pestisida dan pupuk kimia digunakan secara luas di sektor pertanian kita. Data Kementerian Pertanian menunjukkan penggunaan pestisida di Indonesia meningkat sekitar 400 persen dalam dua dekade terakhir.

Namun peningkatan itu tidak sebanding dengan kesejahteraan petani ataupun kesehatan ekosistem. Banyak lahan pertanian mengalami degradasi tanah, menurunnya populasi serangga penyerbuk, dan pencemaran air tanah akibat residu kimia. Ironisnya, sebagian besar petani tidak pernah mendapatkan pelatihan yang memadai tentang bahaya dan cara penggunaan pestisida yang aman.

Krisis lingkungan tidak berhenti di desa. Di kota, polusi udara, tumpukan sampah plastik, dan tata ruang yang abai terhadap daya dukung lingkungan menjadi wajah keseharian.

Kita seperti hidup di tengah “ledakan kemajuan” yang diam-diam menciptakan kesenyapan baru, kesenyapan burung, serangga, sungai, dan pada akhirnya kesenyapan nurani.

Di titik ini, perguruan tinggi seharusnya memainkan peran penting. Kampus bukan hanya tempat memproduksi pengetahuan, tetapi juga tempat membentuk cara berpikir kritis dan etis terhadap kehidupan.

Isu lingkungan tidak bisa lagi menjadi bidang sampingan di laboratorium biologi atau fakultas kehutanan. Ia harus menjadi kesadaran lintas disiplin, dari teknik, ekonomi, hukum, sampai komunikasi.

Perguruan tinggi memiliki posisi unik untuk menjadi penghubung antara sains dan kebijakan publik. Melalui penelitian yang independen, kampus dapat memantau dampak pestisida, limbah, atau deforestasi; melalui pendidikan, ia dapat menanamkan nilai keberlanjutan; dan melalui pengabdian masyarakat, kampus dapat membantu petani beralih ke praktik pertanian ekologis.

Lebih dari itu, kampus harus berani bersuara. Kampus harus terus mengadvokasi kebijakan lingkungan yang berpihak pada kehidupan. Suara ilmiah yang jernih dan berbasis bukti sangat dibutuhkan di tengah derasnya arus informasi yang sering dikaburkan oleh kepentingan industri.

Jika pada era 1960-an seorang ilmuwan seperti Rachel Carson bisa mengguncang kesadaran dunia dengan satu buku, maka pada era digital saat ini perguruan tinggi memiliki kapasitas yang jauh lebih besar untuk mendorong perubahan melalui riset, komunikasi publik, dan jejaring sosial.

Lingkungan hidup bukan isu romantis, melainkan persoalan keberlanjutan bangsa. Tanah yang rusak dan air yang tercemar bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal ekonomi dan keadilan sosial. Jika generasi muda hanya mewarisi bumi yang rusak, maka pendidikan tinggi kehilangan makna dasarnya: mencerdaskan kehidupan yang berkelanjutan.

Carson pernah menulis bahwa “kewajiban untuk bertahan memberi kita hak untuk mengetahui.” Hak itu sekarang bergantung pada keberanian lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di negeri ini untuk bersuara jujur, melawan pembenaran semu, dan berpihak pada kehidupan. Sebab, diam di tengah kerusakan sama saja dengan menjadi bagian dari kesenyapan itu sendiri.

Referensi
• Carson, R. (1962). Silent Spring. Houghton Mifflin.
• Hallmann, C. A., et al. (2017). “More than 75 percent decline over 27 years in total flying insect biomass in protected areas.” PLoS ONE, 12(10): e0185809.
• United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). Global Chemicals Outlook II: From Legacies to Innovative Solutions.
• Kementerian Pertanian RI (2022). Laporan Statistik Pertanian dan Penggunaan Pestisida Nasional.
• Walhi (2023). Catatan Lingkungan Hidup Indonesia: Krisis Iklim dan Ketimpangan Ekologis.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top