Melepas Beban 350 Tahun: Antara Penjajahan Masa Lalu dan Ketundukan Hari Ini

Shared tulisan

Sejak kecil ke dalam benak kita dibenamkan pemahaman bahwa bangsa ini dijajah selama 350 tahun. Cerita ini dihafal, diulang, diwariskan tanpa jeda, hingga menjadi bagian dari identitas nasional. Tapi, benarkah kita selemah itu? Bagaimana mungkin sebuah bangsa besar dengan sejarah panjang dan kebudayaan tinggi dijajah begitu lama oleh negara kecil nun jauh di sana?

Bila kita terus mengulang mitos itu, bukankah kita sebenarnya sedang menanamkan rasa rendah diri? Seolah-olah bangsa ini tak punya daya melawan, Dan 350 tahun adalah bukti kelemahan, bukan keteguhan. Padahal sejarah Nusantara justru penuh perlawanan, pemberontakan, dan keberanian melawan ketidakadilan. Mengingat 350 tahun tanpa memahami konteksnya bukan mengenang penderitaan, melainkan menanamkan beban mental bahwa kita bangsa yang kalah.

Para sejarawan seperti G.J. Resink (1979) dan Batara Hutagalung (2013) telah lama membantah mitos itu. Tidak pernah ada masa di mana seluruh Nusantara berada di bawah kendali Belanda selama tiga setengah abad. VOC yang datang pada abad ke-17 bukanlah negara, melainkan perusahaan dagang bersenjata yang mencari laba, bukan kekuasaan (Reid, 1988). Mereka menaklukkan pelabuhan, bukan bangsa.

Banyak kerajaan tetap berdaulat, bahkan berperang melawan dominasi asing. Aceh, Gowa, Ternate, dan Bali adalah bukti bahwa perlawanan tidak pernah berhenti (Ricklefs, 2008). Maka yang dijajah bukanlah “Indonesia”. Indonesia belum ada waktu itu. Yang ada adalah bangsa-bangsa Nusantara yang sebagian ditaklukkan, sebagian bersekutu, sebagian melawan.

Namun pola kekuasaan yang mereka bangun tetap terasa hingga kini. Jika dulu VOC memonopoli rempah dan pajak, kini kekuatan baru menguasai tambang, energi, dan pangan. Bedanya, mereka tak datang dengan kapal perang. Mereka datang dengan utang, investasi, dan peraturan yang dibuat untuk melayani modal.

Nama dan benderanya berganti, tetapi esensinya sama: kekuasaan ekonomi berada di tangan segelintir elite (Wallerstein, 1974). Sementara rakyat menjadi buruh di negeri sendiri. Pemerintah sering kali hanya menjadi pelayan kepentingan pemodal, bukan penjaga kedaulatan rakyat.

Inilah wajah kolonialisme modern. Tak lagi dengan benteng dan meriam, melainkan dengan saham dan kontrak dagang. Kita menyebutnya pembangunan. Padahal banyak kebijakan justru memperlebar jurang ketimpangan. Rakyat bekerja keras tanpa kendali atas hasil. Sementara sumber daya alam terus dikeruk untuk mengisi kantong perusahaan raksasa.

Dalam kondisi ini, kita mungkin merdeka secara politik, tetapi tetap tergantung secara ekonomi dan budaya. Itulah penjajahan gaya baru
yang lebih halus namun tak kalah menindas (Nkrumah, 1965).

Karena itu, mungkin sudah saatnya kita berhenti membanggakan diri sebagai bangsa yang “pernah dijajah 350 tahun”. Kalimat itu bukan kebanggaan, melainkan beban sejarah yang membuat kita terus merasa kecil. Lebih penting bagi kita untuk mengingat bahwa selama masa itu, rakyat di berbagai daerah berjuang tanpa henti. Bahwa perlawanan, bukan penaklukan, adalah denyut utama sejarah kita.

Kemerdekaan sejati tidak hanya berarti lepas dari penjajah asing, tetapi juga bebas dari cara berpikir yang tunduk kepada kekuasaan dan modal. Selama kita masih bergantung pada kekayaan asing, selama pemerintah lebih takut pada pasar daripada pada rakyat, maka semangat penjajahan itu masih hidup dalam tubuh bangsa ini sendiri. Maka tugas kita hari ini bukan mengusir penjajah dari bumi, melainkan dari kepala: dari cara kita berpikir, bernegara, dan memaknai kemerdekaan (Fanon, 1961; Ngũgĩ wa Thiong’o, 1986).

Daftar Referensi
• Fanon, F. (1961). The Wretched of the Earth. Grove Press.
• Hutagalung, B. R. (2013). Bangsa yang Tidak Pernah Dijajah. Yayasan Obor Indonesia.
• Ngũgĩ wa Thiong’o. (1986). Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature. Heinemann.
• Nkrumah, K. (1965). Neo-Colonialism: The Last Stage of Imperialism. Thomas Nelson & Sons.
• Reid, A. (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680. Yale University Press.
• Resink, G. J. (1979). Indonesia’s History Between the Myths. W. van Hoeve.
• Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
• Wallerstein, I. (1974). The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. Academic Press.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top