Ibnu Rusyd: Menyatukan Akal dan Wahyu

Shared tulisan

Ibnu Rusyd dari Andalusia (1126–1198). Orang Barat menyebutnya Averroes. Ia lahir di Córdoba, sebuah kota yang pada masa itu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia Islam.

Lingkungannya sarat dengan tradisi intelektual. Ayah dan kakeknya adalah hakim agung sehingga sejak muda ia terbiasa dengan atmosfer perdebatan hukum, teologi, dan filsafat.

Ibnu Rusyd istimewa bukan sekadar keluasan ilmunya. Ia dikenal berani melintasi batas-batas disiplin ilmu. Ibnu Rusyd menguasai fikih, kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat.

Dalam Kitab al-Kulliyat, ia menulis ensiklopedia kedokteran yang dipakai berabad-abad. Namun Ia terkenal karena menjadi komentator Aristoteles.

Hampir semua karya Aristoteles ia kupas tuntas. Di Eropa pada Abad Pertengahan ia dijuluki The Commentator. Melalui dialah, filsafat Yunani berkenalan dengan universitas-universitas Eropa, yang kelak melahirkan Renaisans

Salah satu gagasan terpenting Ibnu Rusyd adalah tentang kesatuan kebenaran. Ia menolak dikotomi yang mempertentangkan wahyu dan akal. Bagi Ibnu Rusyd, keduanya adalah jalan menuju sumber yang sama.

Dalam karya Fasl al-Maqal, ia menulis bahwa mempelajari filsafat bukan hanya diperbolehkan, tapi bisa menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu. Sebab akal adalah anugerah Tuhan untuk memahami hikmah-Nya (Ibnu Rusyd, Fasl al-Maqal, terj. Hourani, 1961).

Pandangan inilah yang membuatnya berbeda. Di tengah situasi ketika sebagian ulama curiga terhadap filsafat Yunani, Ibnu Rusyd tampil sebagai jembatan. Ia menegaskan: “Al-haqq la yu‘arid al-haqq”.

Kebenaran tidak bertentangan dengan kebenaran.” Kalimat sederhana ini mengandung keberanian besar. Ia mengajak umat Islam untuk percaya diri. Wahyu tidak akan kalah oleh filsafat. Karena keduanya lahir dari Tuhan yang sama (Davidson, 1992).

Namun, jalan Ibnu Rusyd tidak mulus.

Di akhir hidupnya, ia dituduh menempatkan akal di atas wahyu. Buku-bukunya dibakar. Ia diasingkan ke Marrakesh (Goodman, 2003). Tetapi sejarah membuktikan, ide-idenya justru bertahan lebih lama daripada fitnah itu.

Filsafat Barat banyak berhutang padanya. Thomas Aquinas, pemikir Kristen besar, menjadikan Ibnu Rusyd sebagai lawan dialog intelektual. Bahkan lahirlah sebuah arus pemikiran di Eropa yang disebut Averroisme, yang menekankan otonomi akal dalam memahami realitas.

Ada pengalaman menarik yang membuatnya dikenang. Di masa mudanya, Ibnu Rusyd berjumpa dengan filsuf besar Ibn Tufail. Pertemuan ini mengubah hidupnya. Ibn Tufail memperkenalkan Ibnu Rusyd pada filsafat Aristoteles.

Sejak itu ia mengabdikan dirinya pada upaya menjelaskan dan mempertemukan dua dunia, akal dan iman (Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2004).
Perjumpaan itulah yang membuatnya menempuh jalan intelektual panjang. Dari ruang pengadilan sebagai hakim, ke ruang istana sebagai tabib, hingga ke ruang sunyi studi filsafat.

Sumbangan Ibnu Rusyd bagi umat manusia sangat besar. Dari tangannya, lahir gagasan bahwa agama dan sains tidak perlu saling meniadakan. Bahwa iman tidak harus anti terhadap akal.

Dan akal tidak harus arogan menafikan iman. Dalam dunia modern yang masih sering terbelah antara kelompok yang menuhankan sains dan yang menolak ilmu atas nama agama, pesan Ibnu Rusyd terasa sangat relevan.

Ia wafat pada tahun 1198, namun gagasannya menembus zaman. Ia mengingatkan bahwa cahaya kebenaran dapat datang dari mana saja. Dan tugas manusia adalah menerimanya dengan hati terbuka serta pikiran jernih.

Ibnu Rusyd adalah simbol keberanian intelektual. Seorang yang percaya bahwa iman dan akal, ketika berjalan bersama, justru membuat manusia lebih dekat pada kebenaran yang sejati.

Refleksi untuk Bangsa

Dalam konteks Indonesia hari ini, pesan Ibnu Rusyd terasa mendesak. Di tengah derasnya arus informasi, umat kerap hanya mengandalkan satu sumber media besar, tokoh populer, atau otoritas tertentu sehingga kebenaran dipersempit dan perbedaan mudah menjadi pertentangan.

Ibnu Rusyd mengingatkan bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja. Wahyu dan akal bukan untuk dipertentangkan. Keduanya saling melengkapi. Begitu pula dalam
kehidupan berbangsa. Kearifan lokal, ilmu modern, pengalaman sejarah, hingga suara rakyat kecil, semuanya dapat menjadi cahaya kebenaran.

Jika umat meneladani sikap Ibnu Rusyd, kita tidak akan terjebak fanatisme sumber tunggal, melainkan terbuka pada hikmah dari berbagai arah. Inilah modal bangsa: keberanian berpikir kritis tanpa kehilangan iman.

Kerendahan hati menerima kebenaran walau datang dari luar arus utama. Umat Islam bisa menjadi motor pencerahan dan Indonesia mampu menata masa depan yang lebih adil dan berdaulat.

Bangsa ini harus berani menggabungkan iman, akal, dan kearifan lokal, agar kebenaran bisa menuntun kita menuju kedaulatan dan keadilan yang sejati.

Daftar Pustaka
Encyclopaedia Britannica. (2023). Averroes (Ibn Rushd). Diakses 5 September 2025 dari https://www.britannica.com/biography/Averroes
Davidson, H. A. (1992). Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect: Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect, and Theories of Human Intellect. Oxford: Oxford University Press.
Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.
Goodman, L. E. (2003). Ibn Rushd (Averroes). Oxford: Oneworld Publications.
Hourani, G. F. (1961). Averroes on the Harmony of Religion and Philosophy (Fasl al-Maqal). London: Luzac & Company.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top