
Islam, sebagai ajaran dan peradaban, tidak datang untuk menghancurkan. Ia hadir ke bumi Nusantara melalui jalan damai. Para saudagar, wali, dan pemuka masyarakat menyebarkan Islam dengan merangkul, bukan menaklukkan. Mereka tidak menggunakan pedang, melainkan kelembutan, akhlak, dan kebijaksanaan.
Azyumardi Azra (2004) menegaskan, jaringan ulama dan saudagar sejak abad ke-16 memainkan peran penting dalam Islamisasi Asia Tenggara. Melalui perdagangan, pendidikan, dan jaringan tarekat, bukan penaklukan militer. Denys Lombard (1996) bahkan menggambarkan masuknya Islam di Jawa sebagai proses akulturasi budaya yang halus, yang “menjahit” tradisi lama dengan tauhid.
Inilah wajah awal Islam Nusantara. Inklusif, penuh welas asih, dan menyatu dengan kearifan lokal. Islam yang hidup bersama alam, bukan memusuhinya. Islam yang menjahit simpul-simpul budaya menjadi jalan spiritual, bukan mencabut akarnya.
Namun masalah muncul ketika Islamisasi tak lagi berjalan sebagai proses kultural dan spiritual. Masalah muncul ketika Islam mulai diperlakukan sebagai proyek kekuasaan.
Ketika kekuasaan berpindah dari Majapahit ke Demak, dan dari Demak ke kerajaan-kerajaan Islam berikutnya, terjadi penghapusan memori kolektif. M.C. Ricklefs (2012) dalam Islamisation and Its Opponents in Java, mencatat bahwa transisi ini tidak hanya politik, melainkan juga kultural: dari praktik yang sinkretik menuju penekanan pada ortodoksi dan hukum formal.
Nilai-nilai kosmologis Nusantara, etika agraris, penghormatan pada tanah, air, dan siklus alam, perlahan diganti dengan sistem nilai baru yang lebih legalistik, syariatistik, dan ritualistik.
Kerajaan-kerajaan Islam awal tetap mewarisi bentuk politik Majapahit, tapi perlahan kehilangan jiwanya. Jiwa Nusantara yang penuh rasa, simbol, dan kesadaran ekologis digantikan oleh nalar fiqh yang rigid. Clifford Geertz (1960) dalam The Religion of Java menggambarkan bagaimana Islam di Jawa terbelah dalam santri–abangan–priyayi, mencerminkan tegangan antara ritual formal dan spiritualitas lokal.
Upacara perayaan panen dan penghormatan kepada tanah-air mulai dianggap syirik. Pengetahuan berbasis rasa, intuisi, dan keharmonisan tergantikan oleh doktrin hukum yang kaku dan hitam-putih. Koentjaraningrat (1984) menekankan bahwa harmoni agraris dan simbolisme kosmologis Jawa mulai terdesak oleh tafsir agama yang sempit.
Seni, tari, sastra, dan ekspresi tubuh mulai dicurigai bahkan dilarang, atas nama kesalehan. Niels Mulder (1998) menyebut fenomena ini sebagai hilangnya “mistisisme Jawa” yang dulunya menjadi jembatan antara manusia, alam, dan yang transenden.
Akhirnya bangsa ini kehilangan kehalusan jiwanya. Kita tidak lagi bisa menangis bersama sungai yang tercemar. Tidak lagi merasakan duka saat alam dirusak. Tidak peduli jika sesama manusia diinjak oleh sistem hanya karena berbeda agama atau golongan.
Bukan Islam sebagai ajaran. Tapi tafsir sempit, dan perebutan kuasa yang mengatasnamakan Islam.
Islam yang sejati, dengan nilai keadilan, kasih sayang, amanah, dan musyawarah justru sangat serasi dengan budaya Nusantara. Tapi ketika Islam direduksi menjadi seragam, larangan, jargon moral, dan proyek kekuasaan tanpa ruh, saat itulah kita kehilangan “jiwa kita yang lama”.
Kita kehilangan rasa. Kita kehilangan kesantunan. Kita kehilangan keluwesan dalam menafsir hidup.
Nusantara tidak runtuh karena Islam. Ia melemah karena kehilangan daya tafsirnya sendiri atas hidup ketika Islam tidak lagi dibaca dengan ruh lokal. Maka tugas kita hari ini bukan memilih antara masa lalu, melainkan menyatukan yang terbaik dari keduanya: menjadikan Islam sebagai rahmat, dan menjadikan warisan Nusantara sebagai jalan tafsirnya.
Bila ruh dan akal bisa berjalan bersama, maka kita tak hanya menjadi muslim yang taat, tapi manusia Nusantara yang utuh.
Referensi
• Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII.
• Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya.
• Ricklefs, M.C. (2012). Islamisation and Its Opponents in Java.
• Geertz, C. (1960). The Religion of Java.
• Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa.
• Mulder, N. (1998). Mistisisme Jawa.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI