Ketika Lebah Pergi, Dunia Ikut Lapar

Shared tulisan

Kita sering menganggap lebah hanya serangga kecil yang sibuk di antara bunga. Namun, di balik suara dengunganya itu, ada mesin raksasa penopang kehidupan.

Proses penyerbukan.

Tanpa pollinator seperti lebah, kupu-kupu, kumbang, bahkan kelelawar, banyak tanaman pangan yang tidak akan berbuah.

Riset terbaru yang dilaporkan Nature Ecology & Evolution (2024) menemukan bahwa fragmentasi habitat, yakni terpecah-pecahnya ekosistem alami akibat pembukaan lahan, jalan, dan permukiman telah mempercepat kepunahan pollinator.

Kepunahan yang diakibatkan 70% lebih cepat dibanding kehilangan habitat secara langsung. Polinator terjebak di “pulau-pulau” habitat kecil terisolasi. Mereka kehilangan jalur migrasi, sumber makanan, dan kesempatan berkembang biak.

Bayangkan sebuah desa yang hanya punya satu toko bahan pokok. Namun, jalan dan jalur suplai logistik menuju toko itu terputus-putus. Lama-lama stok bahan pokok habis, warga kelaparan, dan desa pun mati.

Itulah yang terjadi pada polinator ketika habitatnya ter-fragmentasi.

Data FAO menunjukkan lebih dari 75% tanaman pangan dunia bergantung pada polinator. Nilai ekonominya diperkirakan mencapai US$ 235–577 miliar per tahun secara global.

Di Indonesia, tanaman seperti kopi, kakao, durian, cabai, dan mangga sangat bergantung pada penyerbukan alami. Jika populasi polinator jatuh, produksi pangan menurun, kualitas buah pun merosot dan harga-harga melambung.

Studi lapangan di Eropa memperlihatkan bahwa lahan pertanian yang berbatasan langsung dengan “koridor hijau” alami menghasilkan panen 20–30% lebih tinggi dibanding lahan yang dikelilingi beton atau lahan gundul.

Artinya, melindungi dan menyambung kembali habitat polinator bukan hanya urusan ekologi, tetapi juga strategi ekonomi pangan.

Ironisnya, di banyak daerah tropis, termasuk Indonesia, pembangunan infrastruktur dan ekspansi perkebunan sering memotong jalur hidup polinator. Jalan raya membelah hutan, sawit menggantikan hutan campuran, dan ladang monokultur memusnahkan variasi bunga liar.

Kini, ancaman itu diperparah oleh pembukaan lahan besar-besaran untuk tambang di berbagai daerah, dari tambang nikel di Sulawesi, Maluku dan Papua, hingga batubara di Sumatera dan Kalimantan, yang tidak hanya menggunduli hutan, tetapi juga meracuni tanah dan sumber air.

Ekosistem yang dulu menjadi rumah lebah, kupu-kupu, dan kelelawar penyerbuk berubah menjadi lubang raksasa tanpa kehidupan.

Hasilnya: polinator menghilang, panen merosot, petani merugi.

Kita tahu masalahnya dan kita tahu solusinya.

Pemerintah seharusnya bisa memasukkan koridor ekologis sebagai syarat dalam tata ruang.

Petani bisa menanam tanaman berbunga di tepi sawah sebagai “rest area” bagi polinator.

Perusahaan bisa mengintegrasikan ruang hijau alami dalam perkebunan besar.

Dan masyarakat bisa berkontribusi dengan mengurangi pestisida yang mematikan lebah liar.

Kesimpulannya jelas: kehilangan polinator bukan hanya soal alam yang sepi bunga, tetapi ancaman langsung pada pangan dan ekonomi. Setiap meter persegi habitat yang kita selamatkan adalah meter persegi yang menjaga nasi di piring kita.

Ajakan saya sederhana, tapi mendesak: hentikan segera pembukaan lahan liar untuk tambang yang dilakukan secara sewenang-wenang, yang akan menghancurkan hutan, mengeringkan sumber air, dan memutus urat nadi kehidupan.

Setiap hektare yang hilang bukan sekadar tanah, tapi juga rumah bagi jutaan polinator yang menjaga keberlangsungan pangan kita.

Mari kita susun langkah nyata dari desa, kabupaten, hingga nasional untuk menyambung kembali jalur hidup mereka.

Jika jalur itu terputus, kita akan kehilangan polinator, kehilangan panen, dan kehilangan masa depan pangan bangsa.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top