
Di dunia Barat sekuler yang menganggap agama sebagai warisan budaya masa lalu, muncul seorang ilmuwan yang justru menemukan iman melalui mikroskop dan pisau bedah. Namanya Maurice Bucaille.
Ia bukan ustadz. Bukan syeikh. Bahkan bukan Muslim, setidaknya saat ia memulai pencariannya.
Tapi lewat pekerjaannya sebagai dokter bedah, ia justru mengguncang dunia. Bukan karena skalpel di tangannya, tapi karena satu kalimatnya:
“Tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.”
Dimulai dari Sebuah Mumi
Tahun 1975, Bucaille diminta memimpin tim medis Prancis yang meneliti jasad Firaun Mesir yang diyakini sebagai raja di masa Nabi Musa. Tubuhnya luar biasa terawat. Tidak hancur. Tidak busuk. Tidak menjadi tulang belulang seperti jasad-jasad Mesir lainnya. Padahal ia mati tenggelam.
Dan di sinilah Bucaille mengalami keterkejutan spiritual pertamanya. Sebab Al-Qur’an, kitab suci yang belum pernah ia sentuh sebelumnya, ternyata menyebutkan secara eksplisit:
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu, agar kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu.” (QS Yunus: 92). Al-Qur’an menulisnya 1400 tahun sebelum sains mampu menjelaskannya.
Bibel, Qur’an dan Sains Modern
Dari peristiwa itu, lahirlah karya monumental: La Bible, le Coran et la Science.
Sebuah buku yang bukan hanya menjembatani iman dan logika, tapi juga memperlihatkan bahwa wahyu dan ilmu tak perlu saling berhadapan.
Bucaille menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang fenomena alam. Bukan untuk ditafsirkan secara teologis, tetapi diuji secara ilmiah. Ia mengkaji detail penciptaan embrio dan janin seperti yang dijelaskan dalam QS Al-Mu’minun: 12–14.
Dia membandingkan penjelasan itu dengan temuan embriologi modern. Ia juga mengeksplorasi konsep asal-usul alam semesta dan air sebagai dasar kehidupan dalam QS Al-Anbiya: 30, yang selaras dengan teori Big Bang dan prinsip biologi molekuler.
Bahkan gerak rotasi bumi dan keteraturan benda langit dalam QS Yasin: 38–40 pun ia kaji dengan pendekatan astrofisika.
Semua itu bukan dibaca melalui kaca mata tafsir klasik, melainkan diuji lewat hasil laboratorium dan jurnal ilmiah mutakhir. Hasilnya? Justru memperkuat keyakinannya bahwa Al-Qur’an tidak hanya bebas dari kesalahan ilmiah tapi juga memuat pengetahuan yang mendahului zamannya.
Dan kesimpulannya mengejutkan banyak kalangan Barat:
“Al-Qur’an tidak hanya bebas dari kesalahan ilmiah, tetapi justru mengandung kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum dikenal manusia saat itu.”
Bukan Masuk Islam, Tapi Membuka Pintu
Maurice Bucaille tidak mendeklarasikan keislamannya secara publik. Tapi sumbangsihnya bagi dunia Islam sangat besar. Ia menjadi jembatan pertama antara dunia skeptis modern dengan wahyu Qur’ani.
Ia membuat banyak ilmuwan, agnostik, dan bahkan Muslim sendiri mulai membaca Al-Qur’an dengan sudut pandang baru: Bukan hanya kitab hukum, tapi juga kitab pengetahuan dan kesadaran.
Pelajaran Bagi Kita Hari Ini
Banyak orang mengenal Islam dari lahir, tapi tak pernah membacanya dengan serius.
Maurice Bucaille tak dibesarkan dalam Islam, tapi ia justru memahaminya dengan penuh penghormatan.
Ia tidak datang sebagai orang beriman, tapi ia menyentuh ayat dengan rasa ingin tahu dan pulang membawa ketakjuban.
Catatan Akhir
Di masa ketika agama disudutkan sebagai dogma, dan sains dianggap sebagai kebenaran mutlak, Maurice Bucaille menunjukkan satu jalan lain: Bahwa iman dan akal bisa bersujud bersama. Bahwa ayat-ayat Tuhan bukan hanya tertulis di mushaf.
Ayat ayat Tuhan terhampar di langit, di tanah, di tubuh, dan di sejarah umat manusia.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI