
“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 153)
Di tengah hiruk-pikuk dunia dan beratnya tekanan, sabar bukan berarti pasif. Bukan pula menahan marah tanpa arah. Sabar adalah kemampuan mengendalikan gejolak dari dalam. Menjaga kepala tetap dingin meski dada membara. Inilah yang kini oleh para ilmuwan disebut pengaturan emosi (emotion regulation).
Sayangnya, sering kali sabar dipahami secara keliru. Sabar dianggap pasrah. Diam atau menyerah pada keadaan. Padahal sabar dalam Al-Qur’an adalah kekuatan aktif. Al Quran surat Al-Baqarah: 153 menyebut sabar sebagai alat pertolongan, sejajar dengan salat. Jadi sabar bukan bentuk ke-putus- asaan.
QS Ali ‘Imran: 200 bahkan menyandingkan sabar dengan kesiagaan dan keteguhan. Sedangkan QS An-Nahl: 126 menunjukkan bahwa sabar bukan hanya larangan membalas. Sabar adalah kendali akhlak saat berkuasa.
Artinya, sabar bukan diam, tapi kendali emosi dengan arah. Bukan pasrah pada nasib, tapi daya tahan menghadapi tekanan tanpa kehilangan akal dan tujuan.
Kini kita hidup di zaman yang serba tergesa. Di mana orang lebih cepat bereaksi daripada berpikir. Marah lebih dulu sebelum memahami. Menyerang sebelum mendengar. Di era seperti ini, sabar bukan lagi pilihan lembek. Sabar justru menjadi bentuk tertinggi dari kecerdasan sosial dan keberanian spiritual.
Neurosains membuktikan itu. Ketika seseorang menahan impuls saat stres, bagian otak yang disebut korteks prefrontal, pengatur nalar, empati dan keputusan jangka panjang diaktifkan. Ia bekerja menenangkan bagian otak purba: sistem limbik yang penuh gejolak dan impulsif.
Maka sabar, dalam bahasa otak, adalah kerja keras kesadaran melawan ledakan bawah sadar (Williams et al., 2009; Braunstein et al., 2017).
Penelitian Maryanne Wolf di UCLA menunjukkan bahwa mereka yang melatih sabar lewat deep reading, meditasi, dan tafakur, memiliki jaringan saraf yang lebih stabil. Mereka tidak mudah goyah saat diterpa masalah. Emosinya lebih lentur. Tindakannya lebih dalam, tidak reaktif. Karena otaknya belajar jeda sebelum memilih sikap.
Dan ternyata, apa yang kini baru ditemukan sains, sejak lama telah ditanamkan oleh Al-Qur’an. Sabar dan salat: satu menahan, satu menyambung. Sabar menundukkan badai di dalam. Salat menghubungkan kita pada kekuatan di atas.
Penelitian kontemporer menegaskan bahwa sabar bukan pasrah. Ia adalah bentuk resiliensi psikologis yang matang. Penyangga utama kesehatan jiwa dalam tekanan sosial (Alfain et al., 2023).
Negara-negara maju kini membayar mahal untuk mengajarkan ini. Mereka menanam regulasi emosi dalam kurikulum anak-anak. Mengajarkan jeda dalam rapat perusahaan. Menghargai keheningan sebagai ruang berpikir.
Kita?
Kita punya itu semua dalam satu ayat: sabar dan salat. Tapi sering kali kita malu mengabaikan warisan sendiri. Terlalu sibuk mengejar citra modern. Kita lupa akar ketahanan kita yang sejati. Di zaman ini bukan yang paling keras yang akan bertahan, Tapi mereka yang paling mampu mengatur suhu dalam dirinya sendiri.
Di situlah, sabar menemukan makna yang paling dalam. Bukan menunda amarah, tapi menyelamatkan akal.
Referensi:
Williams, L. E., Bargh, J. A., Nocera, C. C., & Gray, J. R. (2009). The unconscious regulation of emotion: Nonconscious reappraisal goals modulate emotional reactivity. Psychological Science, 20(12), 1368–1375.
Braunstein, L. M., Gross, J. J., & Ochsner, K. N. (2017). Explicit and implicit emotion regulation: A multi-level framework. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 12(10), 1545–1557
Maryanne Wolf: Deep Reading a Tool for Attaining Empathy, Critical Thinking Skills – UCLA School of Education & Information Studies
Alfain et al. (2023). The Role of Patience in Coping Mental Problems: A Quranic Perspective.