Politik Lidah: Diplomasi Lewat Makanan

Shared tulisan

Jepang punya sushi. Korea mempopulerkan kimchi. Thailand menebar aroma Tom Yum ke seluruh dunia. Mereka paham, makanan bukan sekadar pengisi perut.
Makanan adalah senjata diplomasi.

Lewat makanan, mereka membangun citra bangsa, memikat hati, dan menembus pasar.

Sementara kita?

Negeri dengan ribuan resep, tapi masih sibuk berdebat siapa pemilik rendang.

Pangan sebagai Soft Power

Di panggung diplomasi global, makanan adalah bahasa universal. Tak ada yang menolak undangan makan malam. Lewat hidangan khas, negara memperkenalkan budaya, nilai, dan bahkan ideologinya. Jepang memadukan diplomasi dan bisnis lewat promosi sushi.

Hasilnya, ekspor produk laut melonjak, pariwisata tumbuh, dan citra Jepang sebagai negeri sehat makin kuat.

Kelemahan Indonesia

Indonesia kaya rasa, tapi miskin strategi. Kuliner kita luar biasa beragam. Namun promosi kuliner sering bersifat seremonial, bukan strategi berkelanjutan.
Banyak makanan kita terkenal namun hanya di tingkat regional.

Tidak ada orkestrasi nasional untuk menjadikan satu atau dua ikon kuliner sebagai ‘wajah’ Indonesia di dunia.

Tempe: Senjata yang Terlupakan

Tempe adalah superfood yang diakui dunia. Inovasi leluhur Nusantara yang kaya protein dan ramah lingkungan. Di era tren ‘plant-based diet’, tempe punya semua yang dibutuhkan untuk menjadi bintang global. Sayangnya kini bahkan bahan baku tempe didominasi kedelai Iimpor.

Nenek moyang kita dulu tidak membuat tempe dari kedelai. Kedelai belum ada di Nusantara saat itu.

Kini saatnya kita kembangkan kembali aneka kacang lokal. Kita punya kacang hijau (Vigna radiata), kacang tunggak (Vigna unguiculata), koro kratok (Phaseolus lunatus), kacang gude (Cajanus cajan), kacang komak (Lablab purpureus), koro benguk (Mucuna pruriens), dan koro pedang (Canavalia ensiformis).

Kacang kacangan lokal bukan hanya kaya gizi, rendah kolesterol, dan ramah lingkungan, tetapi juga menghadirkan tekstur gurih dengan aroma fermentasi khas. Bisa dibuat makanan serbaguna: dipanggang, digoreng renyah, atau diolah seperti rendang tempe.

Sementara singkong, ubi, dan sagu menghadirkan karbohidrat tropis yang lebih sehat. Mempunyai nilai Glicemic Index dan Glicemic Load lebih rendah daripada beras. Menghadirkan rasa manis alami dan lembut cocok menjadi pangan pokok maupun kudapan.

Tak kalah istimewa, aneka olahan pisang seperti nagasari, sale, atau pisang goreng Nusantara. Menyuguhkan manis legit alami dengan balutan tepung beras, santan, dan gula aren yang harum. Kuliner fermentasi tradisional seperti tape singkong, tape ketan hitam, brem, hingga oncom menghadirkan rasa kompleks, manis, asam, gurih yang sejajar dengan keju, sake, atau miso dari dunia lain.

Kita mempunyai beragam jajanan manis-santan seperti klepon dan kolak. Kuliner ini bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga memberi pengalaman rasa yang utuh: lembut, legit, dan berlapis aroma rempah tropis.

Inilah kelebihan utama kuliner Indonesia: sehat, beragam, bercita rasa kaya, sekaligus sarat cerita budaya yang siap jadi ikon kuliner dunia.

Strategi yang Bisa Dilakukan:

Pertama integrasikan kuliner lokal dalam misi diplomatik dan pertemuan internasional
Kuliner Nusantara dapat dihadirkan dalam jamuan resmi dan konferensi sebagai sarana diplomasi budaya.

Dengan begitu, makanan lokal menjadi simbol identitas bangsa yang dikenalkan secara elegan kepada dunia.

Kedua, selenggarakan Festival Pangan Nusantara di kota-kota strategis dunia
Festival kuliner di kota global seperti New York, Paris, Tokyo, atau Dubai akan memperlihatkan kekayaan pangan Indonesia sejajar dengan kuliner dunia lain.

Acara ini bisa menjadi panggung promosi ekonomi kreatif sekaligus diplomasi budaya.

Ketiga, libatkan chef internasional, influencer kuliner, dan diaspora Indonesia sebagai duta rasa
Kolaborasi dengan chef dunia memberi legitimasi pada kuliner Nusantara di mata internasional.

Sementara influencer dan diaspora memperluas jangkauan promosi lewat jejaring sosial dan komunitas global.

Keempat, dorong penelitian dan inovasi produk turunan pangan lokal untuk pasar global. Produk turunan seperti tempe koro instan, snack singkong, atau bumbu siap saji rendang akan memudahkan penetrasi pasar internasional.

Riset dan inovasi memastikan produk memenuhi standar kesehatan, keamanan, dan selera konsumen dunia.

Tempe dan rendang, hingga nasi goreng kerap masuk daftar makanan terenak dunia versi berbagai media internasional. Itu bukti bahwa lidah dunia sebenarnya menerima rasa Nusantara. Namun, ketenaran ini lebih banyak lahir secara organik, didukung diaspora, wisatawan dan kebetulan, bukan hasil strategi terencana.

Kesempatan yang sering dibiarkan lewat begitu saja. Tidak segera dikapitalisasi menjadi kekuatan diplomasi dan ekonomi.

Makanan adalah bahasa universal yang tak butuh penerjemah. Lewat satu gigitan, kita bisa membangun citra, membentuk persepsi, sekaligus membuka pasar baru.

Pertanyaan sederhana: maukah kita menjadikan meja makan sebagai medan perjuangan kedaulatan bangsa?

Dunia sudah memberi peluang. Tinggal apakah kita berani menyajikannya sebagai simbol harga diri dan kedaulatan Indonesia?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top