
Vilfredo Pareto menemukan bahwa dunia sering tunduk pada aturan 80/20. Yang dimaksud Adalah sebagian kecil faktor menghasilkan sebagian besar akibat (Pareto, 1896). Aturan ini bukan hanya berlaku pada ekonomi. Tetapi juga pada moralitas. Hanya sedikit orang yang teguh memegang kebaikan. Sementara dampak keburukan minoritas rakus bisa menguasai mayoritas kehidupan.
Kebaikan yang Minoritas
Sejarah filsafat menyatakan hal yang sama. Socrates memilih mati daripada berbohong pada keyakinannya. Muridnya, Plato, menulis bahwa keadilan hanya hidup bila ada segelintir jiwa yang mau menolak kompromi. Dalam Islam, Nabi Muhammad pernah berkata, βOrang yang paling berat ujiannya adalah para nabi. Kemudian orang-orang saleh. Lalu orang-orang seperti mereka. Kemudian orang-orang seperti mereka.β (HR Tirmidzi).
Artinya, jalan kebaikan memang bukan jalan ramai.
Tradisi leluhur Nusantara juga mengajarkan hal serupa. Falsafah Jawa ‘urip iku urup’ (hidup itu menyala) menekankan bahwa hidup baru bermakna bila memberi cahaya. Meskipun hanya segelintir pelita di tengah gelap.
Mengapa Keburukan Lebih Tampak
Pareto menjelaskan: 20% elite bisa menguasai 80% kekayaan. Jika elite itu serakah, maka 20% orang jahat bisa melahirkan 80% kerusakan. Korupsi politik, kesewenang-wenangan Pejabat, kapitalisme, perbudakan modern, semuanya lahir dari minoritas rakus yang terorganisir. Mereka memanfaatkan sistem untuk kepentingan mereka (Stiglitz, 2012; Wilkinson & Pickett, 2010).
Kebaikan justru membutuhkan kebersamaan. Ia tak bisa berdiri sendiri. Gotong royong, amanah, solidaritas, adalah energi kolektif. Karena itu, meski orang baik banyak, dalam diam mereka sering kalah suara oleh minoritas rakus yang lebih berani memaksa.
Harapan dari Minoritas Moral
Namun, Pareto juga memberi jalan harapan. Bila minoritas bisa menentukan arah, maka memperkuat minoritas orang baik, cukup untuk membalik keadaan. Sejarah memberi bukti: Nabi Musa menghadapi Firaun dengan kelompok kecil. Gandhi melawan imperium dengan gerakan damai rakyat jelata. Di Nusantara, segelintir pemuda berani bersumpah pada 1928, dan efeknya bergema menjadi Indonesia merdeka.
Artinya, jumlah bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah kekuatan iman, konsistensi, dan keberanian moral.
Maka tugas kita adalah menumbuhkan critical mass orang baik lewat pendidikan moral. Lewat penguatan nilai-nilai agama dan leluhur. Lewat sistem yang berpihak pada keadilan. Gotong royong, yang pernah menjadi nafas bangsa, harus dihidupkan Kembali. Jangan hanya menjadi slogan. Harus dipraktekan sehari-hari.
Menyemai Kebaikan
Contoh-contoh sederhana bisa dimulai dari pendidikan karakter di sekolah. Gerakan literasi, koperasi warga, hingga komunitas yang menanamkan kejujuran dan solidaritas. Dari situlah kebaikan bisa bertumbuh, meski awalnya hanya sedikit.
Pendidikan sejatinya bukan sekadar tempat mennyiapkan tenaga kerja. Pendidikan harus membentuk manusia berkarakter. Literasi pun bukan hanya mangasah kemampuan membaca teks, tetapi harus mampu membaca realitas, menilai kebenaran, serta membangun kesadaran kritis. Bila gerakan literasi digelorakan kembali, bisa menjadi pondasi peradaban untuk mencerdaskan Masyarakat. Sekaligus untuk menguatkan benteng moral.
Koperasi, yang lahir dari semangat gotong royong, bukan sekadar wadah ekonomi rakyat. Koperasi adalah sekolah kebersamaan. Tempat orang belajar disiplin, amanah dan solidaritas. Bila koperasi dibangkitkan dengan benar, ia dapat menjadi gerakan massif yang menandingi dominasi sistem ekonomi rakus.
Perguruan tinggi sejak awal didirikan untuk membangun fondasi nilai dan kebajikan. Namun, dalam arus modernisasi, peran ini sering tergeser oleh tuntutan pasar kerja. Kini sudah saatnya kampus kembali ke jati dirinya: membangkitkan dan mencetak generasi muda yang berkarakter dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Generasi muda terdidik, lulusan perguruan tinggi, harus mampu menjadi bagian dari 20 persen orang baik itu, Minoritas moral yang kelak menentukan arah bangsa. Jika segelintir kaum terdidik berani teguh memegang amanah kebajikan, mereka akan menjadi cahaya yang menular, menyalakan semangat kebaikan pada mayoritas lainnya.
Penutup
Teori Pareto menjelaskan mengapa orang baik tampak sedikit dan kejahatan terasa dominan. Tetapi ia juga memberi pelajaran: cukup dengan memperkuat minoritas moral, sejarah bisa berbalik.
Karena itu, jangan menunggu semua orang menjadi baik. Cukup segelintir yang teguh, yang berani, yang tak mau kompromi pada keserakahan. Dari merekalah 20% cahaya akan menerangi 80% kegelapan dunia.