Shared tulisan

Pernahkah kita bertanya: mengapa manusia bisa berdiri tegak? Mengapa simpanse atau gorila sampai sekarang masih berjalan dengan empat tungkai? Ilmu pengetahuan baru mulai mengungkap rahasia lama itu. Jawabannya ada pada gen-gen yang bekerja diam-diam sejak janin masih berupa embrio.

Menurut Capellini et al., (2017), Lebih dari 300 gen bekerja sama dalam membentuk panggul manusia. Lebih dari 300 gen terlibat dalam membentuk tulang panggul, memutar arah tulang rawan, dan menunda pengerasan tulang. Perubahan sepele di rahim ini menghasilkan capaian luar biasa: kita bisa berdiri, melangkah, dan mengangkat wajah ke langit.

Bayangkan sebuah orkestra besar. Lebih dari 300 gen adalah para pemain musik, masing-masing dengan instrumen berbeda: ada yang memetik senar, ada yang meniup seruling, ada yang memukul drum. Tetapi tanpa konduktor, musik mereka akan berantakan.

Di tubuh manusia, tiga gen utama berperan sebagai konduktor: SOX9, RUNX2, dan PTH1R.
SOX9 ibarat konduktor yang memulai lagu. Ia memastikan tulang rawan terbentuk lebih dulu, seperti panggung tempat semua instrumen akan dimainkan. Tanpa tulang rawan, tidak ada kerangka awal yang bisa menopang tubuh (Bi et al., 1999).

RUNX2 datang kemudian, mengatur kapan sel-sel tulang rawan berubah menjadi tulang keras. Ia seperti konduktor yang memberi aba-aba kapan musik berganti tempo. Kalau RUNX2 bekerja terlalu cepat, tulang jadi kaku dan panggul terlalu sempit. Kalau terlalu lambat, tulang rapuh dan tidak kuat menahan tubuh (Komori, 2010).

PTH1R berfungsi menerima sinyal hormon dari luar, seperti konduktor yang mendengar ritme tambahan dari instrumen pendukung. Ia mengatur panjang, bentuk, dan pertumbuhan tulang agar seimbang. Tanpa PTH1R, melodi orkestra jadi sumbang, hasilnya tubuh bisa cacat atau pertumbuhan tulang tidak normal (Kronenberg, 2003).

Hasil kerja sama seluruh pemain gen ini menciptakan “musik kehidupan”: panggul manusia yang cukup lebar untuk melahirkan bayi dengan otak besar, tetapi cukup kuat untuk menopang tubuh yang berdiri tegak.

Harmoni kerja gen-gen ini menjaga agar panggul manusia tidak terlalu sempit, langkah kita stabil, dan seorang ibu mampu melahirkan bayi dengan kepala besar berisi otak, ruang bagi akal, bahasa, dan imajinasi. Tanpa mekanisme ini, mungkin tidak ada sejarah, tidak ada puisi, dan tidak ada doa.

Perubahan itu tidak terjadi sekaligus. Sekitar 5–8 juta tahun lalu, panggul nenek moyang kita mulai bergeser bentuknya. Lalu dalam 2 juta tahun terakhir, prosesnya makin sempurna (Lovejoy, 1988). “Perubahan panggul adalah kunci tegaknya manusia modern” (Lovejoy, 1988). Hasil akhirnya adalah tubuh tegak yang kita warisi hari ini: tangan bebas untuk bekerja, dan otak yang tumbuh untuk berpikir.

Seperti ditulis Harari (2014): “Sejarah manusia dimulai ketika kita berdiri, melepaskan tangan untuk bekerja, dan kepala untuk berpikir.”

Namun berdiri tegak bukan hanya urusan anatomi. Ia adalah simbol dan amanah. Tubuh kita menyimpan sejarah panjang perjuangan agar manusia bisa berpijak dan melangkah.
Al-Qur’an sejak lama menyebutkan: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4).

Bahkan ditegaskan, “Sungguh Kami telah muliakan anak-anak Adam…” (QS. Al-Isra: 70). Maka tegaknya tubuh manusia bukan hanya hasil biologi, melainkan juga tanda kemuliaan.

Kitab suci juga menyiratkan bahwa penciptaan manusia berlangsung melalui beberapa tahapan:

“Padahal Dia telah menciptakan kamu melalui beberapa tahapan” (QS. Nuh: 14). Ayat ini selaras dengan temuan ilmiah tentang proses panjang evolusi panggul dan tegaknya manusia.

Bangsa ini akan naik derajatnya bila menyadari bahwa tubuh tegak adalah panggilan untuk menegakkan kebenaran. Kepala yang diangkat bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk bersyukur. Langkah kaki bukan untuk menindas, melainkan untuk menempuh jalan yang lurus.

Bila gen-gen kecil itu memberi kita martabat, maka kesadaran besar kita sebagai bangsa seharusnya menjaganya dengan adil, jujur, dan penuh kasih. Tubuh tegak adalah amanah, bukan sekadar anugerah.

Daftar Pustaka
• Bi, W., Deng, J. M., Zhang, Z., Behringer, R. R., & de Crombrugghe, B. (1999). Sox9 is required for cartilage formation. Developmental Cell, 1(3), 277–290.
• Capellini, T. D., et al. (2017). Ancient selection for derived human pelvic shape. Nature, 544(7649), 427–431.
• Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of humankind. London: Harvill Secker.
• Komori, T. (2010). Regulation of bone development and maintenance by Runx2. Cell and Tissue Research, 339(1), 189–195.
• Kronenberg, H. M. (2003). Developmental regulation of the growth plate. Endocrine Reviews, 24(5), 563–591.
• Leakey, R., & Lewin, R. (1992). Origins reconsidered: In search of what makes us human. New York: Doubleday.
• Lovejoy, C. O. (1988). Evolution of human walking. Science, 240(4853), 708–715.

Scroll to Top