Diogenes Filsuf di Dalam Gentong

Shared tulisan

Diogenes tinggal di sebuah gentong di pasar Athena. Berbeda dengan Plato yang mendirikan Akademi atau Aristoteles yang menulis logika, ia memilih jalan sederhana.

Dengan hidupnya, ia ingin menunjukkan bahwa kenyamanan dan kemewahan sering kali hanyalah ilusi. Kesederhanaan baginya adalah bentuk perlawanan terhadap kepalsuan.

Suatu hari ia berjalan di siang bolong sambil membawa lentera. Ketika orang bertanya, ia menjawab, “Aku sedang mencari manusia.” Sindiran ini ditujukan pada masyarakat yang lebih sibuk mengejar harta dan status daripada kejujuran. Bahkan ketika Aleksander Agung menawarinya hadiah, Diogenes hanya berkata, “Minggirlah sedikit, kau menutupi cahaya matahari.” Dari sikap ini kita belajar bahwa kebebasan sejati lahir ketika kita tidak diperbudak oleh kebutuhan dan pengakuan orang lain.

Bagi Diogenes, kebahagiaan muncul dari hidup yang ringan. Tanpa beban kemewahan dan citra diri. Ia mengejek orang yang sibuk mengejar kehormatan, jabatan, dan benda-benda yang akhirnya justru memperbudak mereka. “Manusia,” katanya, “membangun rumah yang besar, tetapi lupa membersihkan hati.” Ia menantang masyarakat Athena untuk kembali pada kesederhanaan dan keberanian menjadi diri sendiri.

Membaca kisah ini hari ini, kita seperti bercermin pada wajah Indonesia. Kita bangga pada angka pertumbuhan, gedung tinggi, dan teknologi baru. Namun, apakah jiwa kita ikut bertumbuh, atau justru makin lelah oleh persaingan dan pencitraan? Di media sosial, orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya, sementara hati sering kali tetap kosong.

Diogenes mungkin akan tersenyum geli melihat kegaduhan kita. Ia barangkali berjalan di trotoar Jakarta sambil membawa lentera siang bolong, mencari “manusia sejati” di tengah keramaian. Mungkin ia akan berkata, “Kalian punya segalanya, tapi apakah kalian masih punya waktu untuk menyapa tetangga?”

Kebijaksanaan dari gentong itu mengingatkan kita: hidup tak harus rumit. Keberanian hidup sederhana bukan berarti menolak pengetahuan atau kemajuan. Yang ditolak Diogenes adalah nafsu yang tak pernah kenyang, serta keinginan menjadi budak pujian. Ia memilih kebebasan batin, meski harus tidur di tempat yang dianggap hina.

Pelajaran ini terasa mendesak di tengah gaya hidup konsumtif kita. Tentu kita tidak perlu tinggal di tong raksasa di pinggir jalan. Namun, ada baiknya bertanya: apa yang benar-benar penting? Apakah pekerjaan, rumah, atau gawai kita sungguh menjadi sarana hidup bermakna?

Diogenes juga mengajarkan keberanian berkata jujur pada kekuasaan. Kisahnya dengan Aleksander Agung dikenang bukan karena dramanya, melainkan pesannya: jangan biarkan siapa pun, bahkan raja terbesar sekalipun menghalangi cahaya hidup kita. Dalam negeri yang masih dililit kepura-puraan dan korupsi, suara seperti
Diogenes terasa semakin diperlukan. Suara yang mengingatkan bahwa integritas lebih berharga daripada hadiah dan jabatan.

Mungkin di sanalah letak pesan abadi dari filsuf gentong itu. Menarik napas panjang, meletakkan beban ambisi, lalu menatap ke dalam hati. Apakah yang kita kejar sungguh perlu? Atau sekadar bayangan yang ditawarkan dunia? Dalam kesederhanaan itulah, barangkali, kebahagiaan sejati yang kita cari.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top