
Marcus Tullius Cicero (106–43 SM) adalah salah satu orator dan negarawan terbesar dalam sejarah Romawi. Ia percaya bahwa republik hanya bisa bertahan jika hukum ditegakkan demi rakyat. Bukan demi ambisi segelintir elite. Kata-katanya menjadi senjata yang mampu mengguncang Senat Romawi dan menorehkan jejak abadi dalam sejarah politik dunia.
Catiline Conspiracy
Sebagai konsul pada tahun 63 SM, Cicero berhadapan dengan Lucius Sergius Catilina yang merencanakan makar. Di hadapan Senat, ia melontarkan kalimat yang kemudian abadi: “Quo usque tandem abutere, Catilina, patientia nostra?” . Sampai kapan engkau akan menyalahgunakan kesabaran kami? Pidato ini, yang dikenal sebagai Catilinarian Orations, menggugah Senat dan menggagalkan ambisi Catilina.
Sejak itu, Cicero dikenal sebagai pembela republik.
Philippicae: Melawan Ambisi Antony
Setelah pembunuhan Julius Caesar, Cicero bangkit melawan Marcus Antonius. Dalam rangkaian pidato Philippicae, ia menuding Antony sebagai ancaman besar bagi republik. Keberanian ini membuat Cicero diburu dan akhirnya dieksekusi. Kepala dan tangannya dipajang di forum Romawi. Simbol tragis dari orator yang berani menantang kekuasaan.
Filsafat Politik Cicero
Selain orasi, Cicero menulis karya penting, De Officiis, yang berisi ajaran moral dan politik. Di sana ia menekankan, “Salus populi suprema lex esto”. Keselamatan rakyat harus menjadi hukum tertinggi. Bagi Cicero, republik runtuh bila hukum dijadikan alat ambisi pribadi. Pandangan ini mengilhami pemikir Renaisans, Pencerahan, hingga pendiri Amerika Serikat. Thomas Jefferson bahkan menyebut Cicero sebagai gurunya dalam memahami kebebasan.
Relevansi untuk Indonesia
Kata-kata Cicero terasa dekat dengan kondisi Indonesia hari ini. Pertanyaan Cicero kepada Catilina, “Quo usque tandem…?”, Sampai kapan kesabaran rakyat diuji? seolah bisa kita tujukan kepada elite negeri ini. Jadi, ketika dana CSR dibelokan ke yayasan boneka, ketika KPK dilemahkan lewat revisi UU, dan ketika tambang dikuasai lewat regulasi yang memihak oligarki, kita melihat hukum dibelokkan untuk kepentingan segelintir orang.
Indonesia membutuhkan keberanian intelektual seperti Cicero. Untuk menegur penguasa, menolak ketidakadilan, dan berpihak pada rakyat. Demokrasi hanya akan bermakna jika rakyat berani bersuara dan memaksa negara kembali ke tujuannya semula: melayani kepentingan umum, bukan keluarga atau oligarki.
Penutup
Cicero dibunuh. Tetapi kata-katanya abadi. Dari Roma hingga Jakarta. Pesannya tetap sama. Republik hanya bisa bertahan jika hukum ditegakkan untuk rakyat. Sejarah mengajarkan, oligarki tak pernah hilang dengan sendirinya. Ia hanya bisa dilawan dengan keberanian rakyat.
Seperti Cicero, kita perlu menjadikan kata-kata sebagai senjata. Bukan untuk membenci. Tetapi untuk menyelamatkan republik.
Referensi
Everitt, A. (2001). Cicero: The life and times of Rome’s greatest politician. New York: Random House.
Stockton, D. (1971). Cicero: A political biography. Oxford: Oxford University Press.
Jefferson, T. (1780-an). The letters of Thomas Jefferson. (Beberapa surat pribadi menyebut Cicero sebagai sumber pemikiran tentang kebebasan).