Estimasi waktu baca 7 menit

Indonesia tak kekurangan pangan , yang kurang hanyalah keberanian belajar dari tanah sendiri dan warisan para leluhur.
Beberapa hari terakhir publik kembali dihibur, atau lebih tepatnya dibuat tersenyum miris oleh dua pernyataan pejabat yang terdengar seperti adegan satire politik. Yang pertama mengaku malu untuk makan tahu dan tempe, karena Indonesia tahun lalu masih mengimpor 2,6 juta ton kedelai setiap tahun. Yang kedua, dengan keyakinan penuh, mengusulkan program penanaman gandum sebagai strategi mengurangi impor, padahal impor gandum Indonesia lebih dari 11 juta ton per tahun. Pemerintah optimis menyampaikan bahwa tanaman subtropis itu bisa tumbuh produktif di negeri ini yang panas dan lembap sepanjang tahun.
Di permukaan, dua pernyataan ini tampak jenaka. Namun di balik kelucuannya, terdapat persoalan yang jauh lebih serius: keduanya menunjukkan betapa jauhnya arah kebijakan pangan kita dari pengetahuan ilmiah, sejarah pangan Nusantara dan logika ekologi yang paling mendasar. Kita seperti menyaksikan pengambil kebijakan berbicara tentang pangan tanpa terlebih dahulu berdialog dengan alam dan kenyatan tanah dan iklim negeri ini.
Tempe: Teknologi Fermentasi Tropis yang Merendah, tapi Mendahului Zamannya
Jika kita sedikit saja merujuk pada warisan leluhur, tempe, objek yang dirasakan malu untuk mengkonsuminya itu, adalah salah satu teknologi fermentasi tropis paling maju yang lahir dari Nusantara. Fermentasi tempe menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, mikroorganisme tropis yang sangat efisien mengolah kacang menjadi sumber protein padat gizi, mudah dicerna, dan kaya vitamin.
Penelitian Astuti (2000), Nout & Kiers (2005), hingga Feng dkk. (2012) menunjukkan betapa fermentasi tempe meningkatkan ketersediaan asam amino esensial, menurunkan antinutrisi, dan bahkan memproduksi vitamin B12 alami, suatu pencapaian langka dalam pangan nabati. Di Barat, teknologi setingkat ini membutuhkan bioreaktor industri dengan pengaturan suhu ketat. Tetapi di Jawa, jauh sebelum abad ke-17, proses fermentasi itu dilakukan hanya dengan memanfaatkan suhu tropis, daun pembungkus, serta intuisi budaya yang diasah oleh pengalaman panjang.
Tempe, dengan bahasa lain, adalah biotek tropis yang merendah. Dan justru karena terlalu merendah, ia sering gagal dipandang sebagai teknologi strategis.
Kacang Lokal: Aset Protein yang Tenggelam dalam Kebijakan Impor
Sayangnya, kecanggihan tempe tidak berjalan seiring dengan kecerdasan kebijakan. Selama lebih dari setengah abad, pemerintah memilih menggantungkan industri tempe pada kedelai impor, alih-alih mengembangkan kacang lokal sebagai bahan baku. Padahal Nusantara dianugerahi puluhan jenis kacang adaptif, koro pedang, koro benguk, kacang tunggak, kacang gude adalah tanaman yang tumbuh subur di lahan marginal, tahan panas, dan sesuai dengan karakter tropis kita.
Riset oleh BRIN, IPB, dan UGM berulang kali menunjukkan betapa besar potensi kacang-kacang ini sebagai pilar kedaulatan protein rakyat. Namun kebijakan nasional nyaris tak memberi mereka ruang. Akibatnya, industri tempe tersandera oleh satu komoditas subtropis yang tidak pernah benar-benar cocok dengan tanah Indonesia.
Ambisi Gandum: Mengulang Kekeliruan Pajale dalam Versi yang Lebih Mahal
Kelucuan berubah menjadi kekhawatiran ketika pemerintah kembali memaksakan rencana menanam gandum. Indonesia pernah menjalankan program Pajale; padi, jagung, kedelai, selama hampir dua dekade demi mengejar swasembada kedelai. Biaya yang digelontorkan mencapai triliunan rupiah. Namun hasilnya tetap stagnan. Kedelai lokal tidak pernah benar-benar bangkit. Lebih dari 90 persen kebutuhan nasional harus dipenuhi dari impor.
Banyak yang menuduh program ini tidak dijalankan dengan serius. Namun persoalannya lebih dalam daripada sekadar tata kelola. Kedelai adalah tanaman subtropis, sama seperti gandum. Ia membutuhkan suhu sejuk, kelembapan rendah, dan stabilitas musim, kondisi yang sulit ditemui di iklim tropis basah seperti Indonesia. Tanpa investasi riset besar, varietas unggul yang dibangun bertahun-tahun, serta infrastruktur pertanian presisi yang mahal, tanaman subtropis memang sulit mencapai produktivitas optimum di wilayah tropis.
Jika kedelai tanaman yang relatif lebih toleran daripada gandum gagal mencapai produktivitas tinggi setelah 20 tahun program intensif, apa dasar ilmiah bahwa gandum akan lebih berhasil?
Kajian agronomi FAO Crop Ecology (2019) menyebut dengan jelas bahwa gandum ideal tumbuh pada suhu 15–20°C dengan kelembapan rendah. Kondisi itu sangat jauh dari karakter iklim Indonesia. Uji coba dua dekade terakhir pun menunjukkan hasil serupa: produktivitas gandum tetap rendah, rentan penyakit, dan tidak ekonomis.
Maka wajar jika publik bertanya: Apakah rencana gandum ini benar-benar digerakkan oleh sains, atau hanya mengulang pola lama, ambisi sesaat yang menghabiskan anggaran negara tanpa memperbaiki ketahanan pangan?
Ketika Dunia Berlari kepada Fermentasi, Indonesia Justru Menjauh dari Peluangnya
Sementara kita sibuk melawan alam, dunia justru bergerak ke arah yang sejalan dengan apa yang leluhur kita ciptakan ratusan tahun lalu. Pangan rendah karbon dan makanan fermentasi menjadi tren global. Pasar protein nabati tumbuh cepat, 18 hingga 24 persen per tahun. Riset Taras (2005) dan Benton (2010) menegaskan bahwa pola makan minim proses berpengaruh besar pada fungsi kognitif dan kesehatan metabolik. Tempe, di Eropa dan Amerika, kini mulai mendapat tempat sebagai superfood.
Ironisnya, ketika dunia melirik tempe sebagai teknologi pangan masa depan, Indonesia, tanah kelahiran tempe justru sibuk memaksakan gandum dan terus bergantung pada kedelai impor.
Penutup: Masa Depan yang Tertinggal Jika Kita Tak Belajar dari Tanah Sendiri
Tempe adalah bukti bahwa inovasi tidak selalu lahir dari laboratorium modern. Terkadang ia lahir dari pengamatan jeli manusia terhadap tanah tempatnya berpijak. Leluhur kita menciptakan teknologi fermentasi tempe bukan dengan melawan alam, tetapi dengan mengikutinya.
Karena itu, pertanyaan terbesar hari ini bukan sekadar apakah Indonesia bisa menanam gandum. Pertanyaannya adalah: apakah kita siap berhenti mengulang kesalahan yang sama, dan berani kembali mempercayai apa yang tumbuh dari tanah kita sendiri?
Editing dibantu AI