Malu Makan Tempe? Yang Seharusnya Malu Adalah Kebijakan Impor Pangan Kita

Shared tulisan

Estimasi waktu baca 7 menit

Tempe Bukan Masalah, Ketergantungan Impor Kedelai-lah Akar Persoalan

Ketua Komisi IV DPR mengaku malu makan tahu dan tempe karena Indonesia masih mengimpor 2,6 juta ton kedelai. Sebetulnya ini lebih layak dibaca sebagai kritik terhadap kinerja pemerintah sendiri. Tempe bukanlah sumber rasa malu. Tempe adalah mahakarya pangan Nusantara yang membanggakan. Sebagai warisan budaya yang telah disebut dalam Serat Centhini pada abad ke-17, tempe hingga kini tetap menjadi penopang protein rakyat. Yang membuat malu bukanlah tempenya, tetapi kebijakan yang membiarkan bahan baku tempe bergantung pada impor dari pasar global yang rapuh.

Sejarah Ketergantungan Kedelai Impor Indonesia

Sejak awal 1970-an, ketika rezim Orde Baru membuka keran impor kedelai, bangsa ini perlahan kehilangan kemandiriannya. Kedelai impor lebih murah karena mendapat subsidi besar dari negara produsen seperti Amerika Serikat (USDA, 2023), sementara Indonesia justru memberi kemudahan masuk bagi impor tersebut. Akibatnya, kedelai lokal dan kacang-kacangan Nusantara tersisih sebelum sempat berkembang. Kedelai sendiri baru dikenal luas di Nusantara pada abad ke-17 melalui para imigran Tionghoa yang membawa tradisi makan tahu. Ironi ini berlangsung lebih dari setengah abad sebelum akhirnya muncul sebagai “kegelisahan nasional”. Akar persoalannya sederhana: negara abai membangun kedaulatan protein nabati.

Ketergantungan impor pangan tidak terjadi tiba-tiba. Ia adalah hasil kebijakan instan yang mengejar harga murah jangka pendek, tetapi mengorbankan ketahanan jangka panjang. Harga kedelai dunia dijadikan alasan untuk mengabaikan kacang lokal, padahal Indonesia memiliki keragaman kacang tropis yang melimpah. Sayangnya, bahan pangan lokal ini tidak pernah benar-benar diperlakukan sebagai aset strategis. Tanah kita kaya, tetapi kebijakan kita miskin keberpihakan. Krisis pangan ini pun berkelindan dengan perubahan pola konsumsi yang membentuk kesehatan dan masa depan generasi muda.

Perubahan Pola Makan dan Krisis Kesehatan Anak Indonesia

Pola konsumsi masyarakat bergeser drastis akibat penetrasi makanan ultra-proses. Gandum, komoditas yang tidak tumbuh secara alami di daerah tropis, kini menjadi bahan baku utama roti putih, mi instan, pastry, camilan manis, dan tepung serbaguna. Kombinasi karbohidrat olahan dan gula berlebih ini terasa gurih, tetapi telah terbukti meningkatkan risiko penyakit metabolik pada anak dan remaja. Data Riskesdas (2018; 2023) mencatat peningkatan obesitas anak serta lonjakan kasus diabetes usia 0–18 tahun dalam satu dekade terakhir.

Penelitian kesehatan nasional dan studi internasional (Taras, 2005; Benton, 2010) menunjukkan bahwa pola pangan buruk memengaruhi fungsi kognitif, kestabilan emosi, dan performa akademik. Penelitian Kemenkes dan Pusat Studi Gizi UI menemukan bahwa 90% siswa dengan status gizi tidak normal memiliki capaian kognitif rendah. Semua ini menjadi alarm keras ketika disandingkan dengan hasil PISA 2022 yang menempatkan Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD. Nutrisi bukan satu-satunya faktor, tetapi tidak mungkin mengabaikan perannya dalam proses belajar.

Mengembalikan Tempe kepada Bahan Lokal Nusantara

Dalam situasi ini, keluhan “malu makan tempe” terasa dangkal. Yang diperlukan adalah mengembalikan tempe kepada akar lokalnya. Tempe tidak harus berbahan kedelai impor. Nusantara memiliki tradisi fermentasi beragam bahan: koro pedang, koro benguk, kacang tunggak, kacang gude, dan kacang lokal lainnya. Riset BRIN, IPB, dan UGM menunjukkan bahan-bahan ini tinggi protein, kaya serat, toleran kekeringan, dan cocok di lahan marginal. Bila negara mendukung riset, budidaya, dan hilirisasi tempe berbahan lokal, Indonesia bukan hanya dapat mengurangi impor, tetapi berpotensi menjadi pusat inovasi pangan fermentasi tropis dunia.

Kontroversi Rencana Penanaman Gandum di Indonesia

Di tengah persoalan ini, muncul rencana menanam gandum di Indonesia. Menteri Pertanian telah beberapa kali menyampaikan uji coba gandum di dataran tinggi. Meski terdengar visioner, kajian agronomi FAO Crop Ecology (2019) menegaskan bahwa gandum adalah tanaman daerah dingin dengan suhu ideal 15–20°C dan tidak cocok dengan panas lembap tropis. Uji coba mungkin bisa dilakukan, tetapi produktivitas tidak akan menyamai negara-negara produsen gandum utama. Pertanyaan fundamentalnya tetap sama: apakah ini strategi, atau sekadar reaksi terhadap angka impor?

Kedelai, yang jauh lebih dekat secara ekologi daripada gandum, tidak pernah berhasil dikembangkan secara optimal meski program Pajale menyedot triliunan rupiah sejak 1990-an. Maka mengapa kini pemerintah percaya diri mengembangkan gandum? Ide ini lebih tampak sebagai respons simbolik ketimbang keputusan berbasis sains.

Pangan Lokal yang Semakin Terpinggirkan

Selama energi bangsa dicurahkan pada tanaman yang tidak cocok dengan karakter tanah Nusantara, pangan lokal yang adaptif akan terus terpinggirkan. Program pangan nasional hanya berputar pada swasembada beras, sementara talas, ubi jalar, singkong, sagu, dan sorgum, yang lebih sehat dan tahan iklim, terabaikan. Generasi hari ini tumbuh tanpa mengenal pangan mereka sendiri. Mereka mengenal merek pabrik, bukan petani; rak supermarket, bukan ladang; makanan ultra-proses, bukan makanan yang tumbuh dari tanah sendiri.

Kedaulatan Pangan Harus Dimulai dari Keberpihakan Kebijakan

Kedaulatan pangan tidak akan tercapai selama pemerintah menyerahkan urusannya kepada pasar global. Komisi IV DPR tidak boleh berhenti pada keluhan tanpa merumuskan keberpihakan nyata. Perguruan tinggi perlu aktif mengedukasi publik tentang pangan lokal dan bahaya makanan ultra-proses. Masyarakat pun punya tanggung jawab moral berpihak pada pangan lokal. Tidak hanya lebih sehat, setiap pilihan pangan lokal adalah dukungan nyata bagi petani.

Dalam konteks ini, program MBG menjadi pintu masuk strategis untuk menanamkan kecintaan pada pangan lokal sejak usia dini. Melalui MBG, anak-anak dapat mengenal, mencicipi, dan membangun hubungan jangka panjang dengan pangan sehat yang tumbuh dari tanah mereka sendiri.

Kesimpulan

Kedaulatan pangan bukan slogan. Ia adalah wujud syukur terhadap anugerah Tuhan. Bila hari ini kita merasa malu, rasa malu itu semestinya diarahkan kepada kebijakan keliru, bukan kepada tempe dan tahu, dua pangan leluhur yang paling sehat, lestari, dan berakar kuat dalam budaya rakyat Indonesia.

Ilustrasi dan Editing dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top