
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” QS Al-Hadid: 4
Apakah Tuhan Di Luar Kita atau Meliputi Kita?
Banyak orang memahami Tuhan secara terpisah: ada “aku” di sini, dan ada “Tuhan” jauh di atas sana. Cara pandang ini lahir dari pola pikir dualistis, melihat segala sesuatu dalam dikotomi: aku dan engkau, dunia dan akhirat, terang dan gelap.
Namun, tradisi spiritual yang lebih dalam justru menolak pemisahan itu. Dalam pandangan non-dualitas, Tuhan bukan entitas jauh, melainkan kesadaran yang meliputi segalanya.
Kesadaran Ilahi dalam Pandangan Islam
Al-Qur’an menegaskan: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS Al-Hadid: 4). Ayat ini mengandung makna bahwa Tuhan tidak terbatas ruang dan waktu. Para sufi menyebutnya sebagai wahdat al-wujud, kesatuan wujud.
Menurut Ibn Arabi, segala sesuatu adalah manifestasi dari Wujud Tunggal. Tidak ada sesuatu pun di luar-Nya. Inilah mengapa Al-Qur’an juga menegaskan: “Laysa kamitslihi syai’un”. Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (QS Asy-Syura: 11).
Allah, dalam kerangka ini, bukan “objek” yang bisa dibayangkan, tetapi kesadaran mutlak dasar dari seluruh pengalaman manusia.
Resonansi Lintas Tradisi: Filsafat Timur
Pandangan non-dualitas ini juga ditemukan dalam tradisi Timur. Dalam Advaita Vedanta, realitas tertinggi disebut Brahman, kesadaran murni yang meliputi segalanya. Dalam Buddhisme, istilah sunyata (kekosongan) menggambarkan ruang tak terbatas tempat segala fenomena muncul dan lenyap.
Meskipun istilahnya berbeda, inti ajarannya sama: menolak pandangan bahwa Tuhan atau realitas tertinggi terpisah dari semesta.
Jejak dalam Sains: Otak dan Rasa Kesatuan
Neurosains modern memberi cahaya tambahan. Penelitian Andrew Newberg (2010) menunjukkan bahwa saat seseorang masuk dalam meditasi atau doa mendalam, aktivitas otak di area yang memetakan batas diri (parietal lobes) menurun. Subjek melaporkan perasaan “menyatu dengan segalanya.”
Ini bukan berarti otak menciptakan Tuhan, melainkan bahwa otak manusia memiliki instrumen untuk merasakan kesadaran non-dual yang selalu ada.
Dari Kesatuan Lahir Keanekaragaman
Memahami non-dualitas bukan berarti meniadakan perbedaan. Justru, kesadaran tunggal itulah yang memungkinkan keragaman, seperti cahaya putih yang ketika menembus prisma, terurai menjadi pelangi. Allah adalah cahaya itu. segala fenomena adalah warna-warnanya.
Jika kita hanya sibuk memperdebatkan warna, kita lupa bahwa semuanya berasal dari satu cahaya yang sama.
Implikasi Spiritual: Tiada “Lain”, Hanya Satu
Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari kesadaran yang sama, pandangan kita terhadap hidup berubah. Kebencian mereda. Menyakiti orang lain sama saja dengan melukai diri sendiri. Kasih menjadi dasar tindakan, sebab mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, karena tiada yang di luar-Nya.
Hening dan Kembali ke Asal
Non-dualitas bukan teori, tapi pengalaman hidup. Ia hadir ketika kita mampu hening. Ketika menembus riuh pikiran, dan merasakan kesadaran yang meliputi segala sesuatu. Kesadaran itu bukan milik kita. Kita-lah yang dimiliki olehnya.
Maka, jika Allah adalah kesadaran mutlak, tugas kita sederhana: menyadari-Nya dalam setiap tarikan napas. Dalam setiap interaksi, dalam setiap keberadaan. Saat itu, kita tak lagi merasa terpisah. Kita kembali ke asal: Oneness.
Referensi
• Ibn Arabi, The Sufi Path of Knowledge (Chittick, 1989)
• Shankara, Advaita Vedanta (abad ke-8)
• Newberg, A. (2010). Principles of Neurotheology. Ashgate Publishing
Final editing dibantu AI