Bangsa yang Kehilangan Cerminnya

Shared tulisan

Ketika Bangsa Kehilangan Cerminnya

Setiap orang, bahkan bangsa memiliki cermin untuk merefleksi dirinya. Tapi apa yang terjadi jika cermin itu retak? Dan kita menolak melihatnya? Refleksi atas krisis kebajikan, keadilan, dan kedaulatan rakyat di Indonesia modern.

Plato: Negara Tanpa Kebajikan

Kepemimpinan yang Kehilangan Kompas Moral

Plato, filsuf Yunani kuno, menulis tentang negara ideal dalam The Republic. Baginya, negara hanya akan berjalan benar jika dipimpin oleh philosopher-king. Pemimpin yang mencari kebenaran, bukan pembenaran, dan bukan pula kekuasaan. Namun kini, kepemimpinan sering ditentukan oleh popularitas, modal, atau kelihaian membangun citra. Sang philosopher-king telah digantikan oleh celebrity-king atau business-king. Kebajikan bukan lagi syarat utama, dan negara kehilangan kompas moralnya.

Hobbes: Negara yang Kehilangan Netralitas

Kontrak Sosial yang Retak

Hobbes, filsuf Inggris abad ke-17, memberi gambaran kelam tentang hidup tanpa negara: ‘perang semua melawan semua’. Dalam Leviathan, ia berargumen bahwa rakyat menyerahkan sebagian kebebasan kepada negara demi keamanan dan ketertiban.

Ketika Hukum Tak Lagi Melindungi Semua

Namun kontrak sosial itu hanya berlaku jika negara netral dan melindungi semua warganya. Di Indonesia hari ini, rasa netralitas itu mulai pudar. Aparat dan lembaga hukum sering dipersepsikan condong pada kepentingan kelompok tertentu. Kepercayaan publik pun runtuh perlahan. Ketika rakyat merasa negara tak lagi melindungi mereka, benih kekacauan mulai tumbuh.

Rousseau: Kedaulatan yang Tersisa di Atas Kertas

Demokrasi yang Kehilangan Ruhnya

Rousseau, filsuf Prancis abad ke-18, mengingatkan bahwa kedaulatan sejati ada di tangan rakyat. Pemerintah hanyalah pelaksana general will, Kehendak umum. Jika pemerintah melanggarnya, rakyat berhak menarik mandat itu. Namun sering kali, kebijakan publik diambil tanpa mendengar aspirasi mayoritas. Pemilu menjadi ritual lima tahunan yang meriah, tetapi sehari setelahnya, rakyat kembali menjadi penonton, bukan pemilik panggung.

Bangsa di Persimpangan

Tiga Cermin yang Retak: Kebajikan, Keadilan, Kedaulatan

Plato menuntut Kebajikan, Hobbes menuntut keadilan, Rousseau menuntut kedaulatan rakyat. Dan di titik inilah Indonesia sedang diuji. Negara telah melanggar prinsip kebajikan dalam kepemimpinan, mengabaikan netralitas negara, dan mereduksi kedaulatan rakyat menjadi formalitas.

Harapan dari Sejarah: Berani Bercermin Kembali

Namun sejarah juga memberi pelajaran: negara yang berani bercermin, mengakui cacatnya, dan mau memperbaiki diri, selalu punya kesempatan bangkit lebih kuat. Plato akan mengingatkan kita memilih pemimpin dengan kebajikan. Hobbes akan menegaskan bahwa keamanan lahir dari keadilan. Dan Rousseau akan memanggil kita untuk merebut kembali makna sejati kedaulatan rakyat.

Pertanyaannya: Maukah kita bercermin, sebelum cermin itu pecah?

Daftar Referensi

  1. Plato. (2000). The Republic. Translated by G. M. A. Grube. Indianapolis: Hackett Publishing.
  2. Thomas Hobbes. (1996). Leviathan. Edited by Richard Tuck. Cambridge: Cambridge University Press.
  3. Jean-Jacques Rousseau. (2002). The Social Contract. Translated by G. D. H. Cole. New York: Dover Publications.

Final Editing dibantu AI

4 thoughts on “Bangsa yang Kehilangan Cerminnya”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top