
Kita hidup di zaman ketika layar HP lebih sering disentuh daripada tanah di bawah kaki kita. Kita mengejar kemajuan, tapi lupa menengok asal-usul paling sederhana: bumi yang memberi hidup.
Dalam kitab suci, manusia disebutkan terlahir dari tanah dan akan kembali kepadanya.
“Darinya (tanah) itulah Kami menciptakanmu, kepadanyalah Kami akan mengembalikanmu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkanmu pada waktu yang lain” (QS. 20:55).
Ayat ini bukan hanya puisi spiritual, tapi juga kebenaran biologis.
Tubuh kita tersusun dari unsur yang sama dengan bumi: Karbon, Nitrogen, Kalsium, Fosfor, Magnesium, dan Ferrum (besi). Penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim dan keadaan lingkungan kini mengancam ketersediaan tanaman pangan kaya mikronutrien.
Unsur-unsur itu diserap tanaman, masuk ke dalam pangan kita, lalu menjadi darah, tulang, dan otot kita. Kita adalah anak tanah. Kita hidup dari apa yang tumbuh di dalamnya. Dan kelak kita akan kembali menjadi bagian darinya.
Namun, mungkin tanah kini sudah lelah.
Tanah yang dulu harum aroma humus, kini kering dan kehilangan daya hidup.
Pupuk kimia, pestisida keras, dan deforestasi membuat bumi kehilangan napas.
Sayuran tampak segar, tapi kandungan vitaminnya menurun drastis; studi “An Alarming Decline in the Nutritional Quality of Foods” (Bhardwaj et al., 2024) menunjukkan tren penurunan kualitas nutrisi tanaman pangan di banyak wilayah.
Buah terlihat ranum, tapi mineralnya nyaris hilang.
FAO mencatat bahwa dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, mikronutrien di banyak bahan pangan menurun 20–40 persen (Miller & Welch, FAO, 2013) Tubuh kita mencerminkan tanah kita. Rapuh, lemah, dan kehilangan daya tahan.
Padahal, leluhur kita telah lama mengingatkan.
“Ibu bumi, bapak akasa,” kata orang Jawa, bumi memberi makan, langit memberi hujan.
Orang Sunda berkata, “Leuweung hejo, jalma ngejo.”
Jika hutan terjaga, bahan pangan terjamin.
Mereka tahu, merusak tanah berarti merusak darah daging sendiri.
Teologi pun seirama: manusia bukan penguasa bumi, mereka hanya dipercaya sebagai pengelolanya. Al-Qur’an dan Alkitab, keduanya memerintahkan manusia untuk “memelihara taman”, memelihara bumi. Menjaga bumi adalah amanah. Merusaknya berarti menulis takdir buruk bagi diri sendiri.
Namun belum terlambat.
Gerakan pertanian regeneratif, agroforestri, dan pupuk organik mulai mengembalikan napas tanah. Konsep ini terangkum dalam artikel “Pentingnya Pertanian Regeneratif” (KPM UMY, 2024). Contohnya di kebun sawit, setelah bertahun-tahun bergantung pada pupuk kimia dan herbisida, adopsi praktik regeneratif mulai menunjukkan pemulihan struktur tanah dan populasi organisme tanah (Tempo, 2025)
Kita bisa memulai dari hal sederhana: menanam pohon, membuat kompos, membeli pangan lokal, dan berhenti membuang makanan sia-sia. Sebab menjaga tanah berarti menjaga tubuh. Dan menjaga tubuh berarti menjaga takdir kita bersama.
Mungkin revolusi yang kita butuhkan bukan lagi revolusi industri, tapi revolusi tanah.
Sebab nasib bangsa ini tidak hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, melainkan oleh apa yang kita tanam, dari tanah mana kita makan, dan seberapa dalam kita menghormati bumi, ibu kehidupan yang memberi segalanya.
Studi tren global menunjukkan bahwa meskipun produksi pangan meningkat dalam 50 tahun terakhir, defisiensi mikronutrien tetap menjadi persoalan di banyak negara, terutama di negara berkembang (Beal et al., 2017)
Daftar Referensi
- Bhardwaj, R. L. et al. “An Alarming Decline in the Nutritional Quality of Foods.” PMC, 2024.
- Miller, D. D. & Welch, R. M. “Food system strategies for preventing micronutrient malnutrition.” FAO, 2013.
- FAO. Combating Micronutrient Deficiencies: Food-Based Approaches. FAO.
- KPM UMY. “Pentingnya Pertanian Regeneratif, Suatu Langkah Yang Mendukung Keberlanjutan.” 2024.
- Tempo. “Cerita Pertanian Regeneratif di Kebun Sawit.” 2025.
- Beal, T. et al. “Global trends in dietary micronutrient supplies.” PLoS ONE, 2017.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI
Setuju bahwa kelestarian tanah mesti dijaga. ibarat bikin kompos dari rumput atau dedainan kering yg dionggokkan di wadah pot besar perlahan tapi pasti bagian bawahnya menghitam dan sejumlah mikro organisme kepik hitam, cacing tanah dan berbagai organisme hewani tumbuh subur sehingga menjadikan berbagai manfaat selain untuk media tanam kembali
Setuju Pak Iman.