Kedaulatan Pangan: Ketika isi Perut Kita Tidak Lagi Dari Tanah Sendiri

Shared tulisan

Indonesia dulu bangga menyebut diri sebagai negeri agraris. Namun kini, gelar itu tinggal nostalgia. Sebagian besar rakyatnya makan dari pabrik, bukan dari sawah. Data GoodStats (2024) menunjukkan, 99,43 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi makanan dan minuman pabrikan. Di sisi lain, kita masih rutin mengimpor beras, gandum, garam, gula, dan daging. Totalnya jutaan ton setiap tahun (FAO, 2023).

Pertanyaannya sederhana tapi menyakitkan. Bagaimana mungkin bangsa dengan tanah subur justru bergantung pada pangan dari luar negeri? Mengapa kita lebih hafal merek mi instan daripada varietas padi di desa sendiri?

Ketergantungan yang Diciptakan
Harga pangan murah dari luar negeri menjadi candu bagi negara yang kehilangan daya berdaulat. Pemerintah berdalih impor dilakukan demi stabilitas harga. Tapi stabilitas yang dibeli dari luar negeri hanyalah kenyamanan semu. Di baliknya, petani menanggung harga gabah yang jatuh. Pasar lokal dikuasai tengkulak, dan anak muda meninggalkan sawah (Suryana, 2014).

Kapitalisme pangan bekerja tanpa kekerasan fisik, tapi dengan kekerasan sistemik. Dari benih, pupuk, hingga pasar, semuanya dikuasai korporasi besar (Shiva, 2016). Petani hanya menjadi penyedia bahan mentah. Sementara keuntungan berlipat pindah ke perusahaan raksasa. Merekalah yang menentukan harga dari pabrik hingga meja makan rakyat (Patel, 2009).

Rakyat Terasing dari Pangan Sendiri. Di dapur rumah tangga, perubahan pola konsumsi terjadi perlahan tapi pasti. Mi instan dan makanan olahan menggantikan hasil bumi yang dulu ditanam sendiri. Konsumen dibentuk untuk percaya bahwa pangan modern lebih praktis dan bergengsi (Tilman & Clark, 2014).

Akibatnya, pangan lokal kehilangan citra sosialnya. Di Maluku, sagu dianggap makanan orang miskin. Di Nusa Tenggara, sorgum, jagung, dan ubi ditinggalkan karena beras dianggap lebih β€œberkelas.” Padahal, riset Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP, 2022) menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengandalkan pangan lokal memiliki pengeluaran 10–15 persen lebih rendah dibanding mereka yang bergantung pada beras. Artinya, diversifikasi pangan bukan hanya soal budaya, tetapi strategi ekonomi rakyat.

Modernisasi yang Menjaga Akar
Gerakan diversifikasi pangan harus menjadi gerakan nasional, bukan sekadar seremoni. Pemerintah dan dunia usaha perlu mendorong modernisasi pangan lokal agar diterima generasi muda. Papeda bisa hadir dalam bentuk instan, roti sagu tampil di kafe kota, dan jagung titi dikemas sebagai camilan sehat (Arifin, 2018).

Modernisasi pangan lokal bukan urusan kemasan semata, melainkan urusan martabat. Sebab bangsa yang tak bangga dengan makanannya sendiri perlahan kehilangan identitasnya (La Via Campesina, 1996).

Peran Siswa, Pendidik, dan Perguruan Tinggi
Kedaulatan pangan tidak akan tumbuh tanpa kesadaran kritis generasi muda. Siswa dan mahasiswa perlu didorong untuk memahami rantai pangan, dari benih hingga piring, melalui kegiatan riset kecil, pertanian sekolah, dan proyek sosial berbasis pangan lokal (UNESCO, 2021).

Guru dan dosen harus menghidupkan kembali semangat belajar dari tanah. Menjadikan isu pangan bukan sekadar topik tambahan, tapi bagian dari pembelajaran etika, ekologi, dan ekonomi berkelanjutan.

Universitas dan lembaga penelitian memegang peran strategis: mengembangkan teknologi pangan lokal, memetakan potensi agrikultur daerah, serta menjembatani hasil riset dengan kebijakan publik (Lassa, 2020). Ilmu pengetahuan tidak boleh netral terhadap kelaparan dan ketergantungan. Tugas kampus bukan hanya menghasilkan sarjana, tapi juga penjaga kehidupan.

Menanam Kedaulatan, Menuai Harga Diri
Bangsa ini tidak akan berdaulat selama perutnya ditentukan oleh harga global. Kedaulatan pangan bukan sekadar soal produksi, tetapi soal moral: apakah kita masih sanggup memberi makan diri sendiri?

Kita bisa mengimpor beras murah, tetapi tidak bisa mengimpor harga diri. Kedaulatan pangan sejati dimulai dari keberanian menanam, memakan, dan menghargai hasil tanah sendiri (Shiva, 2016).

Di sanalah pendidikan menemukan maknanya yang paling sejati: mencerdaskan kehidupan yang berakar pada bumi, dan berbuah pada martabat bangsa.

Daftar Referensi
β€’ Arifin, B. (2018). Pertanian dan Pangan Indonesia di Era Globalisasi. Bogor: IPB Press.
β€’ FAO. (2023). The State of Food Security and Nutrition in the World 2023. Rome: Food and Agriculture Organization.
β€’ GoodStats. (2024). Tren Konsumsi Makanan dan Minuman Pabrikan di Indonesia. Jakarta: GoodStats Research Center.
β€’ La Via Campesina. (1996). The Declaration on Food Sovereignty. World Food Summit, Rome.
β€’ Lassa, J. (2020). Local Food Systems and Resilience in Southeast Asia. In Resilient Food Systems in Asia. Routledge.
β€’ Patel, R. (2009). Food Sovereignty: Power, Gender, and the Right to Food. PLoS Medicine, 6(6), e1000154.
β€’ Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP). (2022). Diversifikasi Pangan Lokal: Strategi Ketahanan dan Efisiensi Rumah Tangga. Jakarta: Kementerian Pertanian RI.
β€’ Shiva, V. (2016). Who Really Feeds the World? Berkeley: North Atlantic Books.
β€’ Suryana, A. (2014). Menuju Kedaulatan Pangan Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 32(1), 1–12.
β€’ Tilman, D., & Clark, M. (2014). Global Diets Link Environmental Sustainability and Human Health. Nature, 515(7528), 518–522.
β€’ UNESCO. (2021). Education for Sustainable Development: A Roadmap. Paris: UNESCO.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top