
Manusia kini bukan lagi sekadar membaca kehidupan dari kitab genetik. Mereka bahkan mulai menulis ulang isinya. Inggris baru saja menyetujui proyek besar bernama Synthetic Human Genome Project (SynHG), sebuah langkah berani dalam sains modern untuk membangun ulang bagian DNA manusia. Bukan dari sel yang sudah ada, melainkan dari nol. Dari laboratorium, dari imajinasi, dari pikiran.
Proyek ini dipimpin oleh Prof. Jason Chin dari University of Cambridge. Dukungan dana sebesar £10 juta digelontorkan oleh Wellcome Trust (The Guardian, 2024). Tujuannya bukan menciptakan manusia buatan atau “bermain sebagai Tuhan”. Mereka ingin memahami kehidupan pada tingkat paling dasar. Para ilmuwan mencoba menyusun ulang bagian-bagian DNA secara sintetis, termasuk wilayah “gelap” dalam genom , segmen misterius yang selama ini nyaris tak diketahui fungsinya.
“Kalau kita ingin memahami kehidupan,” ujar Prof. Robin Lovell-Badge dari Francis Crick Institute, “maka kita harus bisa menyusunnya dari awal.” Kalimat sederhana itu mengguncang: sains kini mulai meniru proses penciptaan itu sendiri.
Namun, di balik ambisi intelektual tersebut, muncul pula bayang-bayang etika.
Proyek SynHG menyentuh batas yang lama dianggap tabu: antara ciptaan dan penciptaan. Karena itu, bersamaan dengan tim ilmuwan, dibentuk pula kelompok etika sosial bernama Care-full Synthesis, yang dipimpin Prof. Joy Zhang dari University of Kent (Nature, 2024). Tugas mereka bukan sekadar memberi stempel moral, melainkan membuka percakapan publik dan memastikan kemajuan teknologi ini tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagian masyarakat khawatir, inilah awal dari masa depan yang kelam: manusia rekayasa, bayi pesanan, atau bahkan senjata biologis hasil laboratorium. Kekhawatiran itu tidak berlebihan. Sejarah menunjukkan, apa pun yang bisa dilakukan manusia, cepat atau lambat akan dilakukan. Namun justru karena potensi bahayanya besar, para ilmuwan menegaskan pentingnya riset yang terbuka, etis, dan transparan, agar sains tidak jatuh ke tangan yang salah.
Di sisi lain, manfaatnya sangat besar. Dari sintesis gen dapat lahir terapi baru bagi penyakit genetik, organ buatan bebas virus, hingga sel sintetis yang mampu bertahan di lingkungan ekstrem atau membersihkan limbah beracun (Science, 2024). Proyek ini bukan tentang menciptakan “manusia buatan”, melainkan tentang memahami kehidupan agar bisa melindunginya.
Meski begitu, jalan masih panjang. Bahkan satu kromosom manusia pun belum bisa sepenuhnya disusun secara sintetis.
Para ilmuwan masih belajar. Mereka baru meniti jalan terjal antara pengetahuan dan kebijaksanaan. Tapi langkah pertama sudah diambil, dan dari langkah kecil itulah masa depan mulai disusun, basa demi basa, gen demi gen.
Bayangkan: masa depan di mana manusia bukan hanya menyalin ayat-ayat semesta. Tetapi juga menulis bab-bab baru tentang kehidupan. Sebuah masa depan yang menuntut bukan hanya kecerdasan ilmiah, tetapi juga kedewasaan moral. Sebab, seperti halnya kitab suci, pertanyaan yang paling penting bukanlah apa yang tertulis, melainkan untuk apa ia ditulis.
Apakah manusia siap menulis ulang kehidupannya?
Ataukah, dalam ambisi menulis ulang, ia justru kehilangan makna dari kehidupan itu sendiri?
Referensi:
- The Guardian (2024). “UK Scientists Begin Synthetic Human Genome Project.”
2 Construction.” . Nature (2024). “Care-full Synthesis: Ethics in Genome - Science (2024). “Building Synthetic Chromosomes: The Next Frontier in Genetic Engineering.”
- Wellcome Trust (2024). “Synthetic Genome Initiative Funding Announcement.”
- Francis Crick Institute (2024). Interview with Robin Lovell-Badge on Genome Ethics.