Tamparan Kecil, Luka Besar Pendidikan Kita (Ketika sekolah kehilangan wibawa, dan orang tua kehilangan kebijaksanaan)

Shared tulisan

Publik kembali dibuat geleng kepala oleh peristiwa di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, ketika seorang kepala sekolah menegur siswa laki-laki yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Menurut pengakuan sang kepala sekolah, teguran itu dilakukan spontan dan disertai pukulan ringan pada pipi siswa.

Tak lama kemudian, orang tua siswa melapor ke pihak berwenang.. Selanjutnya sekitar 630 siswa melakukan aksi mogok belajar menuntut kepala sekolah dinonaktifkan (DetikNews, 13 Oktober 2025) (Liputan6, 13 Oktober 2025).

Kasus ini segera menjadi sorotan publik hingga Pemerintah Provinsi Banten turun tangan. Kepala sekolah yang bersangkutan dinonaktifkan sementara selama proses pemeriksaan. Gubernur Banten, Andra Soni, menilai tindakan itu sebagai pelanggaran etika berat di dunia pendidikan (Antara News, 14 Oktober 2025) (Republika, 14 Oktober 2025).

Namun di balik hiruk-pikuk penonaktifan itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah teguran seorang pendidik atas pelanggaran disiplin siswa kini harus selalu dibaca sebagai tindak kekerasan? Di mana batas antara mendidik dan melukai itu sesungguhnya berada?

Peristiwa sederhana ini menjelma menjadi cermin besar bagi dunia pendidikan kita: antara niat mendidik dan tuduhan kekerasan. Antara disiplin dan kerapuhan moral. Padahal, siswa yang merokok di lingkungan sekolah jelas bukan hanya telah melanggar peraturan sekolah.

Sekolah adalah kawasan tanpa rokok, dan larangan itu bukan formalitas. Ia adalah wujud pembentukan karakter, mengajarkan bahwa kebebasan selalu disertai tanggung jawab. Saat seorang siswa menyalakan rokok di lingkungan pendidikan, yang ia bakar bukan hanya tembakau, melainkan rasa hormatnya pada guru, aturan, dan dirinya sendiri.

Namun yang ironis, ketika guru menegur, dunia justru sibuk mencari siapa yang salah.
Teguran disebut kekerasan. Disiplin dianggap penindasan. Orang tua datang bukan untuk mendukung proses mendidik, melainkan untuk menggugat. Kelemahan pendidikan telah melahirkan generasi yang cepat tersinggung, tetapi lambat memahami makna tanggung jawab.

Pendidikan kita seperti kehilangan kompas moral.

Guru terbelenggu oleh ketakutan administratif. Orang tua kehilangan kebijaksanaan. Sementara murid tumbuh tanpa rasa malu. Padahal Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan: tujuan pendidikan adalah membentuk manusia beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab. Nampaknya kini, sekolah lebih sibuk mengejar nilai rapor daripada nilai moral. Kita sibuk menumbuhkan kecerdasan, tapi sering lupa menanamkan kebijaksanaan.

Guru tentu tidak boleh menyentuh, apalagi melukai. Kekerasan dalam bentuk apa pun tetap salah. Namun, kita juga perlu berani mengatakan bahwa murid yang menantang aturan dan merokok di sekolah sama salahnya. Ia tidak sedang mengekspresikan diri, melainkan menolak disiplin. Pada saat yang sama, murid sedang menantang nilai-nilai yang membentuk dirinya sebagai manusia.

Karena itu, semestinya sejak awal tahun ajaran, sekolah memperkenalkan dan menyepakati aturan main bersama. Guru menjelaskan, siswa memahami, orang tua menyetujui. Dengan begitu, disiplin menjadi kesepakatan moral, bukan sekadar peraturan di dinding sekolah.

Ketika semua pihak memiliki kesadaran yang sama, teguran tidak akan disalahpahami sebagai kekerasan, dan sanksi dipahami sebagai bentuk kasih yang mendidik.

Leluhur kita telah lama memberi teladan.

Orang Jawa berkata, β€œGuru iku digugu lan ditiru,” guru dipercaya dan diteladani.
Orang Sunda mengajarkan β€œSilih Asah, Silih Asih, Silih Asuh,” mendidik dengan ilmu, kasih, dan tanggung jawab. Pendidikan sejati bukan soal kepintaran saja, melainkan kebijaksanaan menata hati.

Di Jepang, siswa yang melanggar tidak akan ditampar. Mereka diminta membersihkan kelas atau meminta maaf di depan teman-temannya. Di Finlandia, guru dan siswa duduk bersama mencari akar masalah. Mereka tahu: anak yang dipahami akan belajar memperbaiki diri, bukan karena takut, tapi karena sadar.

Indonesia sesungguhnya kaya dengan nilai seperti itu.
Yang hilang adalah kejujuran untuk menegakkannya. Guru takut menegur. Orang tua sibuk membela. Dan murid kehilangan rasa malu dan tanggung jawab. Tak heran jika banyak pejabat, penguasa, dan wakil rakyat hari ini hanya pandai berbicara. Mereka miskin etika. Itulah bukti hasil pendidikan yang kehilangan ruh budi pekerti.

Sejatinya mendidik bukan sekadar mengajar. Pendidikan Adalah proses membangunkan nurani. Bangsa besar tidak tumbuh dari otak yang cerdas semata, tetapi dari hati yang jujur, jiwa yang kuat. Dari kebenaran, dan dari generasi yang tahu kapan harus tunduk pada aturan main berwarga negara.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top