
Al-Qur’an sejatinya bukan sekadar kumpulan hukum dan aturan ritual. Alquran adalah peta kosmik yang berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan. Wahyu dan sains tidak pernah bertentangan; keduanya justru saling menjelaskan.
Neurologi membuka rahasia kesadaran manusia. Kosmologi menyingkap tanda-tanda di langit. Dan fisika kuantum mengungkap hukum-hukum tersembunyi alam semesta. Semuanya memperkuat ayat-ayat Allah.
Pandangan inilah yang ditegaskan oleh Ahmed Hulusi, seorang pemikir modern yang mengajak umat Islam membaca Qur’an dengan kunci ilmu. Kita diharapkan mampu memahami bahwa ayat-ayat Tuhan hadir di mushaf, dalam diri manusia, dan di seluruh alam.
Baginya, ayat-ayat Qur’an bukan sekadar rangkaian hukum ritual. Al Quran adalah, peta besar yang selaras dengan penemuan neurologi, fisika kuantum, hingga kosmologi modern.
Hulusi menolak pandangan lama yang menempatkan agama dan sains di kubu yang berseberangan. Baginya, keduanya adalah satu bahasa dengan pintu masuk yang berbeda. Sains berbicara lewat hukum alam, eksperimen, dan data empiris. Sementara wahyu berbicara lewat simbol, kisah, dan isyarat. Namun ujungnya sama: menyingkap rahasia keberadaan dan mempertegas keagungan Sang Pencipta (Hulusi, Universal Mysteries, 2012).
Ia menulis, ‘Ketika engkau memahami dirimu melalui ilmu otak, engkau sedang membaca ayat-ayat Tuhan di dalam dirimu. Dan ketika engkau memahami semesta melalui fisika, engkau sedang membaca ayat-ayat Tuhan di luar dirimu.’
Pemikiran ini tentu tidak muncul di dan dari ruang kosong. Ada rantai panjang yang menghubungkan Hulusi dengan tradisi pemikiran sebelumnya. Jika kita menoleh ke belakang, kita menemukan Ibnu Rusyd, filsuf Muslim abad ke-12 yang di Barat dikenal sebagai Averroes.
Ibnu Rusyd hidup pada masa ketika filsafat Yunani bertemu dengan peradaban Islam. Ia membaca karya-karya Aristoteles dengan penuh gairah. Lalu ia mencoba menyelaraskannya dengan wahyu Qur’an. Dalam karya monumentalnya Fasl al-Maqal, ia menegaskan: tidak ada pertentangan sejati antara wahyu dan akal. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yakni kebenaran Ilahi. Jika terjadi kontradiksi, yang salah bukanlah wahyu atau akal, melainkan cara manusia menafsirkan.
Gagasan Ibnu Rusyd ini radikal pada zamannya. Ia menolak dikotomi antara iman dan rasio (Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect, 1992). Bagi Ibnu Rusyd, teks wahyu dapat dibaca dengan pendekatan filosofis dan filsafat. Keduanya membantu umat Islam untuk memahami ajaran agama lebih dalam.
Tanpa keberanian Ibnu Rusyd, mungkin Barat tak akan pernah mengenal kembali Aristoteles. Ibnu Rusyd lah yang membuka pintu besar bagi lahirnya renaisans Eropa (Ernst Renan, Averroès et l’averroïsme, 1852).
Dan di dasar semua itu, berdirilah sosok Aristoteles. Lebih dari seribu tahun sebelum Ibnu Rusyd, Aristoteles sudah meletakkan fondasi cara berpikir ilmiah. Ia percaya bahwa dunia dapat dipahami melalui hukum-hukum alam yang konsisten. Ia menekankan observasi empiris, klasifikasi, dan logika sebagai sarana memahami kenyataan (Aristoteles, Posterior Analytics, 350 SM/1993).
Apa yang terlihat, dapat dipelajari. Apa yang dapat dipelajari dapat dijelaskan. Inilah dasar metode ilmiah yang kita gunakan hingga sekarang.
Jika hari ini Ahmed Hulusi mengaitkan Al-Qur’an dengan neurologi atau kosmologi modern, maka sesungguhnya ia sedang berjalan di jalan panjang yang dirintis oleh Aristoteles dan diteruskan oleh Ibnu Rusyd. Bedanya, ia memakai bahasa abad ke-21: bahasa neuron, atom, dan galaksi. Tetapi inti pesannya sama: ilmu dan wahyu adalah sahabat, tidak akan bertentangan..
Kemajuan sains dan teknologi bukanlah ancaman bagi iman. Sebaliknya, ia adalah sarana untuk melihat lebih jelas keberadaan Tuhan. Apa yang dulu hanya diyakini sebagai keimanan kini dipertegas oleh bukti-bukti ilmiah. Teori kosmologi tentang Big Bang, misalnya, bukan sekadar spekulasi sains, tetapi gema dari ayat yang berbicara tentang langit dan bumi yang dahulu menyatu lalu dipisahkan (QS. Al-Anbiya [21]:30).
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?”
Penelitian neurologi tentang kesadaran manusia bukan sekadar biologi otak, tetapi bagian dari upaya memahami ayat tentang jiwa dan ruh. QS. Al-Isra [17]:85 menaytakan:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia hanya mampu menyingkap sebagian kecil rahasianya. Sangat pas dengan konteks penelitian neurologi modern yang baru “mengintip” kesadaran, tetapi tidak bisa menjelaskan sepenuhnya.
Benang merah Hulusi-Ibnu Rusyd-Aristoteles
Aristoteles membangun fondasi akal empiris. Ibnu Rusyd menyelaraskannya dengan wahyu. Ahmed Hulusi membawanya ke panggung modern dengan bahasa sains mutakhir. Tiga tokoh ini, meski terpaut zaman dan tradisi, berdiri dalam satu garis yang sama: meyakinkan manusia bahwa ilmu dan wahyu saling melengkapi, bukan menegasikan.
Maka, tugas kita hari ini adalah membaca ulang keduanya dengan jernih. Jangan lagi kita membenturkan sains dengan agama. Atau memenjarakan agama dari perkembangan ilmu. Kemajuan sains dan teknologi hanya akan memperjelas, bukan meniadakan, keberadaan Tuhan.
Bukankah Tuhan berfirman dalam QS. Fussilat [41]:53:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat-ayat) Kami di segenap penjuru alam dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.”