Anak yang Didengar, Akan Tumbuh Utuh

Shared tulisan

Anak-anak hari ini lahir di tengah ribuan aplikasi, tapi tumbuh tanpa cukup percakapan. Di rumah yang penuh sinyal, percakapan justru makin sunyi. Padahal, menurut Frontiers in Psychology (2024), relasi emosional yang hangat antara orang tua dan anak terbukti meningkatkan empati, harga diri, dan kedisiplinan. Bukan karena perintah atau hukuman, tetapi karena kehangatan yang konsisten.

Sayangnya, momen itu makin langka. Ayah pulang larut, ibu sibuk dapur dan kerja, anak lebih sering ditemani gawai ketimbang cerita. Generasi ini lancar mengetik cepat, tapi gagap menatap mata.

Kita sering mengejar sekolah favorit, lupa bahwa pendidikan pertama adalah rasa dicintai, dihargai, dan didengar. International Journal of Positive Psychology (2023) mencatat, karakter anak dibentuk dari kebiasaan kecil: makan bersama, mendengar tanpa menghakimi, memeluk tanpa syarat.

Namun teknologi tak lagi netral. JAMA Pediatrics (2022) menunjukkan anak yang terpapar gawai lebih dari dua jam per hari tanpa pendampingan mengalami keterlambatan bahasa dan penurunan kemampuan sosial. Survei KPAI (2022) bahkan menemukan 79% anak SD–SMP di Indonesia memakai gawai lebih dari 3 jam per hari tanpa didampingi orang tua.

Kita tak bisa membangun bangsa yang kuat bila rumah tangganya rapuh. Tak mungkin mencetak generasi unggul bila anak-anak tumbuh tanpa rasa aman. Dan rasa aman itu tak bisa dibeli, hanya bisa dihadirkan—lewat waktu, lewat pelukan yang tidak terburu-buru.

Dalam kearifan Nusantara, mendengar bukan sekadar sopan santun, tapi dasar hubungan antarmanusia. Falsafah Jawa mengenalkan ajining diri saka lath. Harga diri ditentukan oleh ucapan. Namun tutur yang baik hanya lahir dari telinga yang mau mendengar. Tradisi Sunda menekankan ngadengekeun ku manah. Mendengar dengan hati.

Dari situlah tumbuh kasih, asah, dan asuh. Dalam musyawarah adat Minangkabau, semua suara diberi ruang, bahkan suara anak muda.
Kearifan itu semestinya juga hadir dalam kebijakan negara. Pendidikan sejati tak hanya membentuk otak, tapi juga jiwa.

Guru perlu dilatih bukan hanya teknis pedagogi, tetapi juga literasi emosi, Guru menjadi pendengar yang membimbing dengan hati. Jam belajar harus manusiawi, agar anak punya waktu dipeluk, orang tua punya ruang untuk hadir.

Pendampingan keluarga tak boleh berhenti pada bansos atau MBG, melainkan ruang belajar bersama agar orang tua tumbuh sebagai pendidik yang sadar dan hadir. Media publik pun harus ikut menumbuhkan, bukan sekadar menghibur.

Pendidikan bukan sekadar melahirkan murid yang tahu banyak, tetapi warga negara yang tahu cara memperlakukan sesama dengan hormat. Dan itu dimulai dari hal kecil yang mengubah segalanya: anak yang merasa didengar. Bangsa yang besar lahir dari generasi yang didengar, bukan sekadar diajari.

Daftar Referensi
• Frontiers in Psychology. (2024). The role of parent-child emotional bonding in shaping empathy, self-esteem, and discipline.
• International Journal of Positive Psychology. (2023). Small habits, big impact: Building children’s character through daily practices.
• JAMA Pediatrics. (2022). Screen time and its impact on children’s language development and social skills.
• Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2022). Survei penggunaan gawai pada anak usia SD–SMP di Indonesia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top