Mulah Mo Yatna-Yatna dan Doverai No Proverai: Kearifan Lintas Budaya

Shared tulisan

Leluhur Sunda meninggalkan pesan sederhana namun mendalam. Dalam Naskah Sewaka Darma ada nasihat dari guru untuk para muridnya calon resi. Bunyinya: Anaking mulah mo yat-yatna. Artinya anakku jangan sampai engkau tidak waspada. Karena hidup tanpa kehati-hatian hanya membuka pintu penderitaan.

Dari Rusia datang pepatah serupa: doverai no proverai. Artinya percaya, tapi tetap memeriksa. Presiden Ronald Reagan kerap mengulangi kalimat tersebut saat berunding dengan Mikhail Gorbachev.

Dua pepatah ini lahir dari dunia yang berbeda: Sunda dari budaya agraris Nusantara. Rusia dari politik global di era Perang Dingin. Namun keduanya sesungguhnya bertemu pada satu titik: bagaimana menjaga kepercayaan agar tidak berubah menjadi kelemahan.

Leluhur Sunda menekankan kewaspadaan batin. Rusia menekankan verifikasi lahiriah.

Jika dipadukan, keduanya membentuk prinsip universal: membangun kerja sama dengan hati terbuka. Namun tetap mengunci pintu kedaulatan dengan mata waspada.

Sayangnya, sejarah bangsa kita sering melupakan pesan ini. Pada masa Orde Baru, pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada segelintir elite pengusaha. Gandum, yang tidak tumbuh di negeri ini, diberi karpet merah impor menjadi pangan utama rakyat kita.

Akibatnya, pangan lokal seperti umbi, singkong, sagu, sorgum, talas, dan kacang-kacangan, tersingkir. Kita lupa waspada, lupa memeriksa.

Kelalaian serupa terjadi dalam program beasiswa besar-besaran ke luar negeri. Ribuan mahasiswa dikirim dengan keyakinan akan kembali membangun bangsa. Namun banyak yang pulang membawa sudut pandang negara donor. Mereka lebih sering menjadi corong dagang asing daripada penggerak potensi lokal.

Padahal mulah mo yatna-yatna dan doverai no proverai menuntut agar arah pendidikan bisa diverifikasi: apakah mampu memperkuat jati diri bangsa atau justru melunturkan.

Kontrak tambang pun mencatat kelengahan. Perjanjian ditandatangani dengan rasa percaya penuh, tanpa kontrol adil. Keuntungan lebih banyak lari ke luar negeri. Sementara tanah dan sumber daya kita habis dikeruk.

Begitu pula dalam politik pascareformasi: kursi pejabat dibuka lebar kepada pebisnis. Dan naluri dagang mereka akhirnya menguasai kebijakan publik. Partai politik berubah jadi panggung dinasti.

Rakyat hanya menonton sambil berharap janji ditepati. Lagi-lagi, kepercayaan dibiarkan tanpa kehati-hatian.

Faktanya, undang-undang pun sering disusun untuk menguntungkan elite. Diamnya rakyat memberi legitimasi semu. Kita percaya, tetapi lupa memeriksa. Kita pasrah, tetapi abai menjaga waspada.

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, pemimpin bangsa jangan pernah lengah.
Kepercayaan rakyat adalah amanah, bukan cek kosong. Prinsip doverai no proverai harus dijadikan standar dalam setiap kebijakan: percaya boleh, tapi harus ada mekanisme pemeriksaan dan akuntabilitas.

Kedua, bangsa ini harus belajar dari sejarah. Bantuan, hibah, dan investasi asing tak boleh diterima mentah-mentah. Tanpa verifikasi, kita hanya mengulang kesalahan lama: untung untuk asing, rugi untuk rakyat.

Ketiga, hidupkan kembali nilai leluhur: mulah mo yatna-yatna, eling lan waspada, dan tabayyun.

Nilai ini harus ditanamkan sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Agar lahir generasi yang percaya diri sekaligus kritis. Terbuka pada dunia, tetapi tetap memegang kendali atas tanah airnya.

Tentu bangsa yang bijak bukan bangsa yang curiga pada semua orang. Bangsa yang bijak adalah bangsa yang tahu cara menjaga diri. Kita boleh membangun jembatan kerja sama, tetapi pagar kewaspadaan harus tetap tegak.

Dengan begitu, kita tidak sekadar menjadi tamu di rumah sendiri. Sementara orang lain berpesta ria di lumbung kita.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top