
Keresahan tentang pangan hari hari ini semakin sering terdengar. Harga bahan pokok di pasar sering naik-turun tanpa kendali. Di kampung, petani semakin terhimpit. Biaya produksi tidak sebanding dengan harga jual. Di kota, keluarga kelas menengah pun mulai merasakan beratnya menjaga menu di meja makan terisi layak.
Sejak lama Indonesia dikenal sebagai negeri tropis yang subur, kaya akan ragam pangan lokal. Ironisnya, kekayaan itu justru diabaikan. Kini, kita semakin bergantung pada pangan impor. Dalam konteks inilah, saya merasa penting mengangkat pemikiran Pak Agus Pakpahan.
Melalui tulisannya dalam Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi edisi 10 September 2025 berjudul Biaya Kelalaian: Mengapa Indonesia Masih Berkubang dalam Krisis Pangan? Beliau mengingatkan kita pada harga mahal yang harus dibayar akibat kelalaian dalam mengelola potensi tropis yang melimpah.
Agus Pakpahan menyoroti tiga fakta keras yang menunjukkan rapuhnya sistem pangan kita:
Pertama, stunting sebagai bom waktu generasi.
Saat ini 21,5% balita Indonesia atau sekitar 1,7 juta anak mengalami stunting. Kondisi ini bukan sekadar membuat tubuh anak anak muda menjadi pendek, melainkan kerusakan permanen pada otak dan fisik akibat kekurangan gizi kronis.
Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi akibat stunting mencapai 18,5 miliar dolar AS setiap tahun. Anak-anak yang mengalami stunting tumbuh menjadi orang dewasa dengan kapasitas kerja terbatas, sehingga kemiskinan berulang dari generasi ke generasi.
Kedua, porsi belanja pangan yang terlalu besar.
Rumah tangga Indonesia masih mengalokasikan 37,5% pengeluaran hanya untuk makanan. Angka ini hampir enam kali lipat dibandingkan Amerika Serikat (6,4%) dan dua kali lebih tinggi dari Malaysia (17%).
Fenomena ini bukan karena orang Indonesia terlalu gemar makan, melainkan karena pendapatan yang rendah serta harga pangan yang mahal akibat ketergantungan impor dan distribusi yang tidak efisien.
Ketiga, ketergantungan pada impor gandum.
Indonesia setiap tahun mengimpor 12 juta ton gandumnya. Ironisnya, gandum sama sekali tidak tumbuh di iklim tropis kita, tetapi justru menjadi bahan utama mi instan dan roti yang kini mendominasi pola konsumsi.
Agus Pakpahan menyebut fenomena ini sebagai warisan kolonialisme pangan. Perubahan selera menggeser pangan lokal bergizi seperti sagu dan sorgum. Bahkan penelitian Fabiosa (2006) menunjukkan bahwa di mata sebagian masyarakat, beras mulai dianggap inferior. Semakin tinggi pendapatan, semakin sedikit belanja beras, bergeser ke gandum.
Bagi Agus Pakpahan, akar dari semua masalah ini sama. Bangsa Indonesia abai terhadap kekayaan tropis yang telah dianugerahkan Allah Swt. Kita gagal mensyukuri dan memanfaatkan sepenuhnya potensi pangan tropika.
Lalu apa jalan keluarnya?
Ia menawarkan strategi tropikanisasi. yakni mengembalikan pangan nasional ke basis kekayaan tropis. Bentuk konkretnya antara lain:
Pertama, menggantikan gandum impor dengan sagu atau sorgum dalam program bantuan pangan pemerintah. Langkah ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan pangan yang tidak tumbuh di negeri kita, tetapi juga mendorong petani lokal untuk menanam dan mengembangkan komoditas tropis yang bernilai gizi tinggi. Dengan begitu, program bantuan pangan sekaligus menjadi instrumen penguatan produksi dalam negeri dan pemberdayaan petani.
Kedua, mengalihkan subsidi impor menjadi dana riset dan inovasi pangan lokal berbasis biodiversitas. Dana yang selama ini habis untuk menopang ketergantungan pada produk luar negeri bisa dialihkan menjadi investasi jangka panjang yang memperkuat kemandirian pangan. Riset dan inovasi ini akan membuka jalan bagi lahirnya produk-produk pangan tropis yang tidak hanya bergizi tinggi, tetapi juga kompetitif di pasar modern.
Ketiga, berinvestasi pada gizi anak dengan memanfaatkan bahan lokal murah dan bergizi seperti dedak padi yang kaya zat besi dan zinc. Akses gizi yang memadai sejak dini adalah kunci memutus rantai stunting dan kemiskinan antargenerasi. Dengan memanfaatkan bahan lokal yang melimpah dan terjangkau, kita tidak hanya menekan biaya, tetapi juga memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan mampu berdaya saing di masa depan.
Dengan langkah ini, Indonesia bukan saja menghemat devisa, tetapi juga menyiapkan generasi yang lebih sehat, cerdas, dan produktif. Ini Adalah fondasi penting menuju status negara berpendapatan tinggi.
Lebih dari itu, kita juga sedang menegakkan kembali kedaulatan pangan bangsa. Membangun sistem yang berpihak pada rakyat, dan memastikan bahwa kekayaan tropis yang dianugerahkan Allah Swt benar-benar menjadi sumber kemakmuran bersama.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI