
Sekitar 2.600 tahun lalu, di tepi Laut Aegea, terdapat sebuah kota pelabuhan makmur bernama Miletus. Kota ini kini berada di wilayah barat daya Turki modern. Tak jauh dari pesisir Laut Aegea, laut biru yang membentang di antara Yunani di sebelah barat dan Turki di sebelah timur.
Di sanalah lahir seorang anak dari keluarga pedagang yang kelak disebut bapak filsafat Barat: Thales.
Ia hidup di masa ketika semua pertanyaan besar tentang dunia dijawab dengan kisah para dewa. Hujan dipercaya sebagai air mata Zeus. Gempa bumi dilihat sebagai amukan Poseidon. Dan bintang-bintang dianggap lentera para dewa yang digantung di langit malam.
Bagi masyarakat saat itu, alam semesta adalah panggung mitologi. Setiap fenomena memiliki cerita gaib yang diwariskan turun-temurun. Dalam dunia penuh legenda inilah Thales tumbuh, dan kelak berani mengambil langkah radikal, mencari jawaban bukan pada dewa, melainkan pada alam itu sendiri.
Thales dianggap punya kebiasaan buruk bagi zamannya: ia selalu bertanya “mengapa?” dan “bagaimana?”.
Kenekatannya sederhana tapi radikal: ia menolak menerima jawaban jadi. Baginya, alam punya hukum sendiri yang bisa dipahami manusia, tanpa harus memanggil dewa-dewa untuk menjelaskannya.
Konon, titik balik pemikirannya datang saat ia melakukan perjalanan dagang ke Mesir.
Banjir tahunan Sungai Nil menghapus batas tanah, memaksa para juru ukur Mesir untuk mengukur ulang lahan setiap tahun. Dari mereka, Thales belajar geometri.
Tapi yang lebih penting, ia melihat pola: di mana ada air, di situ ada kehidupan. Sawah yang kering mati, ternak lemah, manusia kelaparan. Dan saat air kembali, hidup kembali.
Ia mulai berpikir: jika semua yang hidup berawal dari air, bertahan karena air, dan akan kembali menjadi air, mungkinkah air adalah bahan dasar dari segala sesuatu?
Inilah ide archê, prinsip dasar yang membentuk dunia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hakikat alam dijelaskan bukan lewat mitos, tapi lewat penalaran.
Thales tidak berhenti pada teori. Ia membuat metode mengukur tinggi piramida hanya dengan bayangannya. Dia merumuskan teorema geometri yang masih diajarkan di sekolah hingga hari ini. Ia bahkan memprediksi gerhana matahari,
Thales membuktikan bahwa ilmu pengetahuan lahir dari keberanian bertanya dan kesabaran mengamati.
Tentu, tidak semua kisah tentangnya penuh wibawa.
Ada cerita ketika Thales berjalan malam-malam sambil menatap bintang, ia terjatuh ke sumur. Seorang pelayan Thracia yang melihat kejadian itu tertawa: “Bagaimana mungkin kamu tahu apa yang ada di langit, tapi tak melihat apa yang ada di depan hidungmu?”
Sindiran itu jadi pengingat bahwa bahkan pemikir terbesar pun bisa lengah.
Lalu, apa makna Thales bagi kita hari ini?
Kita hidup di zaman yang ironis.
Pengetahuan melimpah, tapi mitos-mitos baru bermunculan: mitos politik, mitos pasar bebas, mitos media. Banyak orang lebih cepat percaya gosip di layar ponsel daripada data di jurnal ilmiah.
Di tengah dunia yang riuh ini, kita butuh keberanian seperti Thales: keberanian mengganti cerita nyaman dengan pencarian fakta.
Thales juga mengajarkan bahwa berpikir kritis tak memerlukan gelar akademik. Ia pedagang, pengembara, ia pengukur tanah. Di sela kesibukan itu, ia memikirkan hakikat semesta. Ia membuktikan bahwa siapa pun, dari latar apa pun, bisa memulai langkah pertama menuju pengetahuan sejati.
Dari Thales kita belajar bahwa bertanya bukan sekadar upaya intelektual, tetapi juga keberanian moral untuk menyingkap kenyataan.
Jika ia berani bertanya tentang asal-usul alam semesta pada zamannya, maka kita pun harus berani bertanya tentang akar persoalan bangsa hari ini.
Mengapa kekayaan bumi kita melimpah, tetapi rakyatnya masih banyak yang lapar?
Mengapa demokrasi yang mestinya melahirkan keadilan justru sering dipenuhi intrik dan korupsi?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menuntun kita untuk jujur melihat diri, sebab mengenali bangsa berarti juga mengenali kelemahan dan potensi kita sendiri.
Thales mengajarkan, dengan terus bertanya, kita membuka jalan menuju perubahan.
Dari keruwetan menuju kejernihan. Dari kebingungan menuju keberanian untuk memperbaiki keadaan.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI